Ada "win win solution" dari kedua belah pihak. Untuk anak kemenakan Batin Palubi dan Batin Sungai Serdang diberi areal pecadangan seluas 4.000 hektare. Dan batin pesukuan lainnya 1.000 hektare sesuai kesepakatan di Lembaga Adat Petalangan tahun 1998
Pekanbaru (ANTARA) - Konflik berkepanjangan antara PT Peputra Supra Jaya (PSJ) dan PT Nusa Wana Raya (NWR) terkait lahan sawit yang berada di Desa Pangkalan Gondai, Langgam, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau dinilai pakar lingkungan Riau Dr Elviriadi akibat kurangnya pengawasan dari pemerintah setempat.

"Dalam kasus lahan di Gondai izin kehutanan yang dikeluarkan pemerintah masih kurang dan sangat minim aspek sosial yuridis. Baik itu berupa HPH, HTI, bahkan juga HGU," katanya di Pekanaru, Rabu.

Selain itu, kata pria yang juga sebagai Ketua Majelis Lingkungan Hidup Muhammadiyah itu, ada dua hal yang cukup krusial dalam pembangunan usaha hutan.

Di antaranya adalah kurangnya pengawasan visi kehutanan termasuk perencanaan hutan. Kemudian, benturan dengan masyarakat adat yang sudah bermukim di lahan yang diberi izin.

"Dua hal itulah yang menjadi faktor utama konflik agraria di Indonesia. Seperti halnya di Desa Gondai itu," kata Elviriadi yang juga menjabat selaku Kepala Departemen Perubahan Iklim Majelis Nasional KAHMI itu.

Menurut dia, kepala persukuan atau ninik mamak adat dapat menyatakan keberatan atas izin konsesi. Dengan alasan lahan yang hendak dibuka itu difungsikan sebagai keperluan umum, seperti pemakaman umum, padang ternak, pekarangan masjid dan sekolah atau bahkan artefak budaya dan hutan larangan.

"Ada 'win win solution' dari kedua belah pihak. Untuk anak kemenakan Batin Palubi dan Batin Sungai Serdang diberi areal pecadangan seluas 4.000 hektare. Dan batin pesukuan lainnya 1.000 hektare sesuai kesepakatan di Lembaga Adat Petalangan tahun 1998. Kemudian apakah ini disetujui pemerintah? Bagaimana kelanjutannya? Kok sekarang timbul konflik sehingga kebun sawit warga hendak dieksekusi?," katanya.

Dengan begitu, pria yang kerap jadi saksi ahli itu mengatakan bahwa itu akibat dari lemahnya pengawasan pihak terkait.

Ia mengaku telah telah berkoordinasi dengan Sekjen Kementerian LHK Bambang Hendroyono terkait permasalahan ini.

"Kata Sekjen KLHK penyelesaian sawit rakyat dalam izin konsesi diatur dalam UU Cipta Kerja. Jadi tak bisa dieksekusi begitu saja. Saya juga sudah berkoordinasi dengan Deputi II Kantor Staf Presiden Bung Abetnego Tarigan. Intinya KSP minta penyelesaian konkret setelah penundaan eksekusi," demikian Elviriadi.

Baca juga: Jokowi instruksikan Gubernur Riau selesaikan konflik lahan Gondai

Baca juga: MA nyatakan eksekusi lahan sawit Desa Gondai Riau tak sah

Baca juga: Riau kehilangan Rp107 triliun akibat 1,4 juta hektare sawit ilegal

 

Pewarta: Alfisnardo
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021