Namun, sebenarnya ada satu pertanyaan yang mengganjal, siapa sesungguhnya penyintas korupsi yang tepat?
Jakarta (ANTARA) - Setidaknya ada dua hal yang baru pertama kali dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 31 Maret 2021, pertama adalah menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan kedua adalah program penyuluhan antikorupsi untuk para narapidana kasus korupsi.

Pertama, SP3 tersebut untuk menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi terkait dengan pemenuhan kewajiban pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) selaku obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang diduga merugikan negara hingga Rp4,58 triliun.

Dua tersangka yang dihentikan penyidikannya adalah pemegang saham pengendali BDNI: Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim.

Keduanya ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 13 Mei 2019 karena diduga melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Ketua BPPN 2002—2004 Syafruddin Arsyad Temenggung.

Namun, sejak ditetapkan sebagai tersangka, baik Sjamsul maupun Itjih, belum pernah diperiksa, baik sebagai saksi maupun tersangka di tingkat penyidikan meski KPK sudah mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan terhadap keduanya ke tiga lokasi, yaitu The Oxley, Cluny Road, dan Head Office of Giti Tire Pte. Ltd. (keduanya berlokasi di Singapura) dan ke satu alamat di Simprug, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Ikhwal penerbitan SP3 untuk Sjamsul dan Itjih Nursalim tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.

Baca juga: Pakar: KPK bisa lanjutkan penyidikan Sjamsul Nursalim dan Itjih

Sebagai bagian dari penegak hukum, dalam setiap penanganan perkara KPK memastikan akan selalu mematuhi aturan hukum yang berlaku. Penghentian penyidikan ini, kata Alexander dalam konferensi pers di Gedung KPK, Kamis (1/4), sebagai bagian adanya kepastian hukum dalam penegakan hukum.

Kepastian hukum tersebut harus diterapkan setelah penolakan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan KPK ke Mahkamah Agung (MA) terhadap putusan kasasi Syafruddin Arsyad Temenggung pada tanggal 16 Juli 2020.

PK tersebut ditolak MA karena menurut hakim penelaah MA dan berdasarkan memorandum Kasubdit Perkara PK dan Grasi Pidana Khusus pada MA ternyata permohonan PK tersebut tidak memenuhi persyaratan formil.

Persyaratan formil yang dimaksud diatur pada Pasal 263 Ayat (1) KUHAP dan putusan MK No.33/PUU-XIV/2016 dan SEMA No. 04/2014.

Pasal 263 Ayat (1) KUHAP berbunyi: "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung."

Artinya, permohonan tersebut bahkan tidak sampai ke majelis hakim PK di MA karena sudah gugur di hakim penelaahan.

PK itu diajukan KPK karena pada tanggal 9 Juli 2019 setelah MA mengabulkan kasasi Syafruddin dan menyatakan Syafruddin terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana sehingga melepaskan Syafruddin dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).

Dalam putusan kasasi tersebut, ketua majelis hakim kasasi Salman Luthan menyatakan perbuatan Syafruddin adalah perbuatan pidana. Namun, hakim anggota I Syamsul Rakan Chaniago berpendapat bahwa perbuatan tersebut masuk ranah hukum perdata, sedangkan anggota 2 berpendapat bahwa perbuatan itu adalah perbuatan yang melanggar hukum administrasi.

Artinya, 2:1 untuk perbuatan nonpidana dan perbuatan pidana.

Baca juga: Sjamsul dan Itjih Nursalim kembali tidak penuhi panggilan KPK

Belakangan diketahui hakim Syamsul Rakan Chaniago sempat berkomunikasi dengan salah satu penasihat hukum Syafruddin, yaitu Ahmad Yani pada tanggal 28 Juni 2019 saat Syamsul masih menjadi hakim anggota untuk kasasi Syafruddin sehingga Syamsul dikategorikan melanggar Pasal 5 Ayat (3) Huruf e Peraturan Bersama Ketua MA dan Ketua Komisi Yudisial tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Syamsul pun dikenai sanksi etik berupa hakim nonpalu selama 6 bulan sejak September 2019.

Meski salah satu hakim kasasi terbukti telah bertemu dengan kuasa hukum Syafruddin sehingga melanggar prinsip imparsialitas dalam memutus perkara, PK yang diajukan KPK tetap gugur.

Padahal, putusan majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada tanggal 24 September 2018 telah menjatuhkan vonis 13 tahun penjara ditambah denda Rp700 juta terhadap Syafruddin. Bahkan, pada tanggal 2 Januari 2019 Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat vonis menjadi 15 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar.

Setelah upaya hukum luar biasa (PK), KPK meminta pendapat dan keterangan ahli hukum pidana terkait dengan perkara tersebut.

"Disimpulkan bahwa tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh KPK," ungkap Alexander.

Pakar hukum yang diundang berasal dari Universitas Airlangga, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Jenderal Soedirman. Setelah mendengarkan pendapat para pakar dan melalui tiga kali ekspose internal, dengan suara bulat KPK pun mengeluarkan SP3.

Baca juga: KPK jelaskan kronologi penerbitan SP3 untuk Sjamsul Nursalim

SP3 Langkah Terakhir?

Penerbitan SP3 sendiri adalah produk hukum KPK terbaru berdasarkan Undang-Undang KPK edisi revisi, yaitu UU Nomor 19 Tahun 2019. Sebelumnya, KPK tidak diberi hak untuk mengeluarkan SP3 seperti penegak hukum lain, yaitu Polri dan Kejaksaan Agung.

Penghentian penyidikan tersebut diatur dalam Pasal 40 UU No. 19/201 yang berbunyi: "KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 tahun."

Penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 minggu terhitung dikeluarkannya SP3 dan harus diumumkan kepada publik.

Namun, penghentian penyidikan dan penuntutan dapat dicabut oleh pimpinan KPK bila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.

Atas amanat UU tersebut, bisa saja bila ada putusan praperadilan yang membatalkan SP3, penyidikan terhadap Sjamsul dan Itjih Nursalim dapat dibuka kembali.

Terhadap opsi praperadilan tersebut, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengaku akan melakukannya.

MAKI berencana segera mengajukan gugatan praperadilan untuk membatalkan SP3 tersebut ke di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Boyamin menyebut MAKI maksimal mengajukan gugatan pada akhir April 2021 untuk mengimbangi langkah "April Mop" oleh KPK.

"Tadinya kami berharap SP3 ini adalah bentuk 'April Mop' atau prank dari KPK namun ternyata April beneran karena SP3 benar-benar terbit dan diumumkan secara resmi oleh KPK," kata Boyamin.

MAKI pada tahun 2008 pernah memenangi praperadilan atas SP3 melawan Jaksa Agung atas perkara dugaan korupsi BLBI BDNI dengan putusan praperadilan berbunyi pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana korupsi. Pertimbangan hakim praperadilan tersebut akan dijadikan dasar praperadilan yang akan diajukan MAKI.

Semestinya KPK tetap mengajukan kedua tersangka ke pengadilan dengan sistem in absentia selama ini Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim kabur pernah masuk daftar pencarian orang. MAKI merasa keadilan masyarakat tercederai karena SP3 diberikan kepada orang yang kabur dan buron.

Opsi kedua adalah terkait dengan pengembalian kerugian negara yang dapat diproses lewat gugatan perdata, seperti Pasal 32 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 32 Ayat (1) menyebutkan bahwa dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada jaksa pengacara negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.

Dalam Pasal 32 Ayat (2) disebutkan bahwa putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.

Artinya, KPK meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai instansi yang mewakili negara sebagai pihak yang dirugikan untuk melakukan gugatan melalui Jaksa Agung Muda Bidang Tata Usaha Negara (Jamdatun) kepada Sjamsul dan Itjih NUrsalim.

Opsi agar KPK segera melimpahkan berkas kepada jaksa pengacara negara, kemudian dilakukan gugatan perdata ini didukung oleh Indonesia Corruption Watch (ICW).

Hal ini penting untuk memastikan adanya pertanggungjawaban dari Nursalim atas perbuatannya yang telah membohongi dan merugikan perekonomian negara triliunan rupiah. Jika gugatan ini tidak segera dilayangkan, menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, pelaku berpotensi mengulangi perbuatannya pada masa mendatang.

Jadi, opsi mana yang akan ditempuh KPK?

Baca juga: MAKI bersiap gugat Praperadilan SP3 perkara BLBI oleh KPK

Penyuluh Penyintas Korupsi

Kegiatan kedua yang juga pertama kali dilakukan KPK sejak berdiri adalah melakukan penyuluhan kepada para narapidana perkara korupsi dalam program Penyuluhan Antikorupsi.

Penyuluhan itu dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Bandung terhadap 25 orang narapidana yang sedang menjalani program asimilasi atau sebentar lagi akan menghirup udara bebas.

Masyarakat siapa pun, termasuk di lapas, yang kebetulan punya pengalaman atau dapat disebut penyintas korupsi sehingga diharapkan dengan pengalaman yang mereka bisa di-sharing kepada mereka yang diharapkan tidak jadi punya niat korupsi. Demikian kata Plt. Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardana di Lapas Sukamiskin, Bandung, Rabu (31/3).

Dalam program tersebut, KPK menggunakan pendekatan ilmu psikologi untuk memetakan narapidana asimilasi, antara lain dengan menggunakan metode komunikasi dua arah, mengenali kepribadian, analisis gesture, vibrasi suara, goresan tulisan, dan lain-lain.

Pemetaan ini diharapkan akan menghasilkan data narapidana yang siap untuk dilibatkan dalam program antikorupsi.

Ketua KPK Firli Bahuri pun berharap program ini dapat memberikan pemahaman bahaya korupsi sehingga warga binaan menjadi agen dalam memberikan penyadaran agar masyarakat tidak korupsi.

Kegiatan sejenis akan dilakukan pada tanggal 30 April 2021 di Lapas Tangerang.

Baca juga: KPK gelar penyuluhan antikorupsi bagi narapidana asimilasi

Penyuluhan ini baru dilakukan satu kali. KPK melakukan penyuluhan di lapas untuk mencari best practices. Kalau sukses bisa dilanjutkan.

"Kalau gagal, kami perlu lakukan evlauasi, bukan berhenti, yang pasti kami selalu mencari praktik-praktik baik untuk melakukan pemberantasan korupsi dan kami menanggap warga binaan bagian yang bisa dimanfaatkan untuk pemberantasan korupsi," kata Firli.

Para peserta asimilasi, yaitu para narapidana korupsi mengaku baru mendengar istilah agen antikorupsi.

"Saya sendiri sendiri baru dengar bahwa kami dijadikan agen antikorupsi. Perlu diingat tadi Pak Firli Bahuri mengatakan alasan datang ke sini karena 'cinta', nah, itu 'kan ucapan, realisasi bentuk penyelenggaraan antikorupsi, pencegahannya, penindakannya kalau dasarnya cinta, insyaallah, ujung-ujungnya keadilan," kata salah satu warga binaan Beben Sofyar.

Beben Sofyar adalah terpidana korupsi perkara pemberian fasilitas kredit sehingga divonis 10 tahun penjara yang ditangani Kejaksaan Negeri Cikarang.

Sementara itu, Sugiharto, terpidana kasus korupsi KTP elektronik yang diusut KPK, mengaku siap untuk kembali ke masyarakat.

Efektivitas penyuluhan antikorupsi oleh warga binaan di lapas tersebut tentu masih membutuhkan waktu pembuktian. Namun, sebenarnya ada satu pertanyaan yang mengganjal, siapa sesungguhnya penyintas korupsi yang tepat? Para narapidana yang telah menunaikan hukumannya atau mereka yang mendapat SP3 sehingga tidak perlu diusut perbuatannya.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021