Jakarta (ANTARA) - Pelaku industri sepakat bahwa transisi energi dari berbasis fosil menuju ke energi baru terbarukan (EBT) merupakan sebuah keniscayaan, namun akselerasi pengembangan EBT di Indonesia membutuhkan insentif dari pemerintah agar dapat bersaing dengan sumber energi fosil.

“Transisi energi merupakan sebuah keniscayaan, namun dibutuhkan insentif dari pemerintah,” kata Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P Roeslani pada webinar Energy and Mining Editor Society (E2S) bertema "Kolaborasi Mempercepat Investasi, Inovasi dan Teknologi di Sektor Energi dan Mineral", Senin.

Rosan mengatakan biaya pembangkitan EBT terus turun dari tahun ke tahun. Ditambah lagi potensi EBT di Indonesia sangat besar, seperti panas bumi, angin dan air.

Baca juga: Indonesia gandeng IEA akselerasi program transisi energi

Rosan juga mengatakan pemerintah berusaha secara bertahap menekan defisit migas dengan melakukan bauran energi dari batu bara ke EBT. Apalagi EBT akan melampaui energi fosil pada 2050, kata Rosan dalam keterangan di Jakarta, Senin.

Indonesia menargetkan mencapai bauran EBT sebesar 23 persen hingga 2025 dan hingga 2020 realisasi bauran EBT hanya sebesar 11,2 persen atau 10,6 Giga Watt (GW), sementara itu target 2025 sebesar 24 GW.

Ego Syahrial, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM mengatakan pemerintah terus mendorong pengembangan EBT. “Saat ini masih disiapkan rancangan Perpres pembelian tenaga listrik EBT,” kata Ego.

Sementara itu, Menteri ESDM Periode 2000 – 2009 Purnomo Yusgiantoro menyatakan transisi energi terkait erat dengan dua faktor, yaitu teknologi dan keekonomian. Purnomo mengindikasikan biaya pembangkitan EBT masih kurang bersaing dibanding biaya pembangkitan energi batubara, terutama di wilayah Jawa.

Baca juga: Menteri ESDM sebut transisi energi bersih perlu libatkan masyarakat

“Transisi energi membutuhkan bridging fuel, contohnya gas dan batubara yang menggunakan teknologi ramah lingkungan,” kata Purnomo.

Martiono Hadianto, mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), mengatakan perlunya kolaborasi antarsektor mulai dari sumber daya, pendidikan, perindustrian, perdagangan. "Pendidikan menjadi akar dari penguasaan teknologi dan inovasi," katanya.

Iwa Garniwa, Rektor Institut Teknologi PLN, menyoroti soal target bauran energi 23 persen pada 2025. Padahal realisasi hingga 2020 hanya 11,2 persen . "Saya perkirakan capaian pada 2025 maksimal tambahannya delapan persen jadi realistisnya 19-20 persen," kata Iwa.

Sejumlah pelaku industri berbasis batubara sudah mulai menjajaki potensi EBT. Contohnya PT Indika Energy Tbk, yang mempunyai visi mencatatkan 50 persen pendapatan dari nonbatubara pada 2025.
PT Indika Energy Tbk. membangun proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di wilayah anak usahanya, PT Kideco Jaya Agung (Kideco), di Paser, Kalimantan Timur.

“Aspek keekonomian EBT dan teknologi baterai semakin murah setiap tahun, hal ini dapat mengakselerasi pengembangan EBT,” kata Arsjad Rasjid, Direktur Utama Indika Energy.

Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021