Artinya modal yang masuk ke dalam negeri tidak bisa dimanfaatkan secara optimal untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi atau bisa dibilang ongkos inovasi semakin mahal
JAKARTA (ANTARA) - Insitute of Development of Economics and Finance (INDEF) mengungkapkan tiga tantangan dalam pembangunan Silicon valley Indonesia atau yang diberi nama “Bukit Algoritma”.

“Pertama, ekosistem R&D (Research and Develompent) di Indonesia masih sangat rendah,” kata Kepala Center of Innovation and Digital Economy INDEF, Nailul Huda saat diskusi online di Jakarta, Kamis.

Nailul mengatakan proporsi dana R&D terhadap PDB secara total masih kecil yakni hanya 0,24 persen. Begitu juga dengan proporsi dana R&D terhadap PDB yang dihasilkan sektor bisnis swasta yang hanya menyumbang 0,017 persen. Hal tersebut berdampak kepada ekspor manufaktur high-technology di Indonesia yang masih rendah.

Berdasarkan data Bank Dunia 2021, ekspor manufaktur high-tech di Indonesia hanya 8,1 persen. Jauh tertinggal dari Malaysia, Thailand, dan Vietnam yang masing-masing 51,85 persen, 23,01 persen, dan 40,44 persen.

Baca juga: Rahasia yang disembunyikan dari Silicon Valley

“Padahal untuk membangun tempat yang khusus membangun teknologi, diperlukan industri high-tech yang menjamur di Indonesia,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Nailul, inovasi Indonesia tak cukup baik sehingga ICOR Indonesia berada di angka 6.7, nomor empat terbawah dibandingkan negara-negara ASEAN. Kebijakan pendorong R&D seperti tax allowance juga belum berdampak efektif

“Artinya modal yang masuk ke dalam negeri tidak bisa dimanfaatkan secara optimal untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi atau bisa dibilang ongkos inovasi semakin mahal,” ungkap dia.

Kemudian tantangan kedua adalah sumber daya manusia. UNESCO mencatat jumlah peneliti di Indonesia masih sangat rendah yakni 216 orang dari 1 juta penduduk. Begitu juga dengan komposisi proporsi penduduk yang mampu mengoperasikan komputer dengan mahir, jumlahnya hanya 3,5 persen dari penduduk muda dan dewasa.

Survei dari AFTECH juga mengatakan terdapat gap talenta antara penawaran dan permintaan tenaga kerja sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) khususnya untuk pekerjaan data dan analisa dan pemprogram di di industri fintech. Akibatnya, 36 persen perusahaan fintech memperkerjaan asing.

Baca juga: Perusahaan di Silicon Valley tak terburu-buru buka kantor

“Saya rasa ini menjadi catatan juga bahwa sumber daya manusia menjadi hal yang penting sebelum kita melangkah ke Silicon Valley,” ujar Nailul.

Sedangkan tantangan yang ketiga adalah ketimpangan digital dimana sektor TIK hanya dinikmati oleh kalangan berada dan berpusat di Pulau Jawa dengan DKI Jakarta dan Yogyakarta sebagai pusat TIK. Data Badan Pusar Statistik mencatat sebanyak 50 persen rumah tangga di perkotaan telah menikmati layanan internet, sedangkan di perdesaan baru 26,56 persen.

“Inilah yang menjadi anomali juga ketika Silicon Valley ala Indonesia itu dikhususkan untuk petani di Indonesia. Bagaimana caranya petani di desa bisa menggunakan teknologi tetapi aksesnya sangat rendah dan bagaimana cara mereka memanfaatkan Silicon Valley,” papar dia.

Silicon Valley ala Indonesia atau Bukit Algoritma akan dibangun pada lahan seluas 888 hektare di Cikidang dan Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat dengan nilai total proyek mencapai Rp18 triliun.

Baca juga: Karyawan Facebook dan Google di Silicon Valley kerja dari rumah

Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021