Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menyesalkan Rancangan Undang Undang Reformasi, Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU RPPSK), masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun ini.

Menurut Misbakhun, peraturan perundang-undangan dan kelembagaan saat ini masih kuat mengatasi dampak pandemi COVID-19 pada sistem keuangan, termasuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan.

"Urgensi RUU RPPSK tidak signifikan untuk dibahas tahun ini karena Indonesia masih menghadapi pandemi. Banyak masalah di sektor keuangan akibat pandemi bersifat temporer, sehingga tidak perlu direspons dengan kebijakan permanen," ujar Misbakhun melalui keterangan di Jakarta, Senin.

Apalagi, lanjut Misbakhun, RUU RPPSK akan disusun dan akan diterbitkan menjadi Omnibus Law Sektor Keuangan. Undang-undang sapu jagat itu akan merombak kewenangan lembaga sektor keuangan, seperti BI, OJK dan LPS.

Baca juga: Puan: DPR buka partisipasi publik bahas RUU prioritas

Misbakhun menyebutkan setidaknya ada empat alasan mengapa RUU RPPSK perlu dikaji kembali saat ini. Pertama, masalah temporer. Permasalahan sektor keuangan yang timbul akibat pandemi COVID-19 harus bisa dianalisis sebagai masalah yang bersifat temporer atau masalah yang bersifat permanen. Sehingga, solusi yang dilakukan tepat sasaran.

Kedua, kemampuan kepemimpinan atau leadership. Jika permasalahan sektor keuangan memiliki kompleksitas sebagai gabungan dari masalah bersifat sementara dan masalah bersifat permanen, maka solusi yang ditawarkan adalah kemampuan leadership dalam forum KSSK.

Ketiga, membahayakan independensi regulator moneter dan keuangan. Jika disahkan, kebijakan tersebut berpotensi mengganggu independensi BI dan OJK karena pemerintah melalui Menteri Keuangan berhak menetapkan keputusan dalam rapat KSSK, serta dapat menunjuk Dewan Pengawas OJK dan BI.

"Jika independensi ini tergores, maka kredibilitas pasar keuangan Indonesia di dalam dan di luar negeri akan terancam karena independensi kedua lembaga otoritas keuangan inilah yang menjadi kunci kepercayaan terhadap kebijakan moneter dan keuangan sebuah," kata Misbakhun.

Dalam draf RUU RPPSK, diatur penataan ulang kewenangan kelembagaan KSSK yang beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur BI dan Ketua OJK. Pengambilan keputusan KSSK dilakukan dalam rapat KSSK secara musyawarah untuk mufakat.

Baca juga: Anggota DPR targetkan 50 persen selesaikan Prolegnas 2021

Namun, jika tidak tercapai kesepakatan, Menteri Keuangan sebagai Ketua KSSK mengambil keputusan atas nama KSSK dan keputusan itu sah mengikat setiap anggota KSSK dan/atau pihak terkait.

Berbeda dengan UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Dalam undang-undang ini, pengambilan keputusan rapat KSSK dilakukan oleh Menteri Keuangan, Gubernur BI dan Ketua OJK berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Namun, jika tidak mencapai mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.

Keempat, harus diikuti perubahan regulasi fiskal. UU RPPSK juga harus meliputi UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara agar bisa dikatakan UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

"Namun, jika hanya direvisi lewat amandemen undang-undang BI, undang-undang OJK dan undang-undang LPS, maka ini artinya revisi UU RPPSK hanya akan menyasar pada undang-undang sektor moneter. Padahal, dibutuhkan juga revisi amandemen di sektor fiskal," ujar Misbakhun.

Ia menilai, sektor keuangan fiskal yang diatur dalam undang-undang keuangan negara dan undang-undang perbendaharaan negara, juga perlu dibahas dan dimasukkan secara komprehensif dalam RUU tersebut.

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021