Jakarta (ANTARA) - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) berpendapat pengenaan pajak terhadap produk dan layanan digital terutama dari perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia masih perlu dievaluasi.

“Peraturan-peraturan ini memberikan kerangka kerja untuk penyelenggaraan ekonomi digital terutama ketika pandemi COVID-19 mendorong pemerintah untuk menargetkan potensi fiskal dari pasar digital yang sedang berkembang. Hanya saja dalam teknisnya masih perlu untuk terus dipantau dan dievaluasi bersama,” kata Peneliti CIPS Pingkan Audrine Kosijungan dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Kamis.

Pingkan menjelaskan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) diatur secara teknis dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 48 Tahun 2020 dan turunannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-12/PJ/2020 yang menetapkan besaran 10 persen untuk dikumpulkan dan disetorkan oleh perusahaan dengan sistem elektronik dengan kriteria tertentu mulai bulan Agustus 2020.

Baca juga: DJP tunjuk delapan pemungut baru pajak digital

Kriteria tersebut berdasarkan nilai transaksi dengan minimal Rp600 juta dan jumlah traffic atau akses di Indonesia sebesar minimal 12.000 per tahun. Namun, ketentuan tersebut mengundang perdebatan terutama dari perusahaan sistem online luar negeri yang beroperasi di Indonesia.

Bahkan, lanjut Pingkan, pengenaan pajak digital secara mandiri dan bersifat unilateral tersebut mendapatkan reaksi negatif dari negara lain seperti Amerika Serikat karena beberapa perusahaan besar yang berasal dari sana, seperti Netflix, Google dan Amazon beroperasi di Indonesia.

“Di level global belum ada kesepakatan multilateral yang menaungi sehingga perlu dijadikan sebuah masukan mempertimbangkan hubungan dagang antara Indonesia dengan Amerika Serikat dan negara lain yang juga memiliki keberatan yang sama,” tutur Pingkan.

Baca juga: DJP tunjuk Amazon sebagai pemungut pajak digital

Ia juga mengungkapkan bahwa sampai saat ini, OECD masih merumuskan landasan bersama antarnegara. Selain mempersiapkan teknis pengambilan pajak perusahaan-perusahaan tersebut, pemerintah perlu mengkaji lebih mendalam kemungkinan negatif yang akan muncul dari pengenaan pajak digital tersebut.

“Diperlukan analisis yang mendalam terhadap kemungkinan-kemungkinan negatif yang muncul dari dampak pengenaan pajak terhadap hubungan bisnis Indonesia dengan negara lain,” ujarnya.

Sejak 16 Mei 2020, UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 mengenakan pajak pada transaksi elektronik OTT. Pajak ini dikenakan kepada penyedia layanan asing dan pedagang asing yang beroperasi melalui sistem elektronik atau biasa disebut Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) dan juga kepada perusahaan yang belum berupa Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Pajak yang dimaksud adalah pajak penghasilan badan yang dikenakan pada penyedia jasa asing dan juga pajak pertambahan nilai (PPN) tidak langsung yang dikenakan pada konsumsi transaksi elektronik OTT di Indonesia.

Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021