Mataram (ANTARA) - Penuntut umum Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat mengajukan dakwaan baru terkait perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari pidana pokok penipuan investor untuk kawasan wisata di Pulau Lombok dengan terdakwa Zaenudin.

Juru Bicara Kejati NTB Dedi Irawan di Mataram, Jumat, mengatakan, dakwaan baru ini diajukan karena hakim dalam putusan sela menyatakan dakwaan sebelumnya batal demi hukum.

"Karena angka TPPU yang awalnya disebut dalam dakwaan senilai Rp18 miliar itu dianggap hakim tidak sesuai dengan pidana pokok yang terbukti dalam kasus penipuan, yakni senilai Rp10 miliar. Makanya kita buat lagi dakwaan baru dan sudah diajukan," kata Dedi.

Baca juga: Kejati NTB siapkan dakwaan terkait perkara TPPU investasi Rp18 miliar

Untuk itu, Dedi memastikan bahwa penuntut umum sudah memperbaiki materi dakwaan milik terdakwa Zaenudin. Meskipun dalam dakwaan baru disebutkan angka TPPU senilai Rp10 miliar, namun pembuktian adanya kerugian korban hingga Rp18 miliar masih melekat dalam uraian dakwaan.

"Jadi tidak apa-apa didakwaan segitu (Rp10 miliar), tapi nanti di persidangan kita ajukan bukti-buktinya (Rp18 miliar)," ujarnya.

Dakwaan baru ini, katanya, diajukan ke Pengadilan Negeri Mataram pada Kamis (27/5). Kemudian untuk jadwal sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan sudah diterbitkan oleh pengadilan.

"Agenda pembacaan dakwaannya akan digelar pada Kamis (3/6)," katanya.

Baca juga: Mafia tanah didakwa cuci uang investor wisata senilai Rp15,36 miliar

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mataram dalam putusan sela sebelumnya menyatakan dakwaan jaksa penuntut umum batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat formil dan menerima alasan keberatan terdakwa.

Karena batal demi hukum, majelis hakim kepada penuntut umum memerintahkan agar terdakwa segera dibebaskan dari tahanan.

Terdakwa H Zaenudin sebelumnya didakwa menyamarkan harta hasil penipuan saham investasi untuk kawasan wisata sebesar Rp18 miliar. Uang itu dipergunakan untuk membeli aset pribadi berupa tanah, kendaraan roda empat, rumah, dan kegiatan partai.

Awalnya H Zaenudin menawarkan penjualan tanah pada tahun 2011 kepada Andre Setiady Karyadi, pihak pelapor. Kemudian muncul kesepakatan senilai Rp45,39 miliar sesuai perjanjian tertulis pada 12 Februari 2014.

Pelapor yang merupakan "nominee" (pinjam nama) dari penyandang dana asal Amerika Serikat bernama Steven kemudian sepakat dengan harga Rp18,39 miliar.

Baca juga: Polda NTB: Berkas kasus pencucian uang investor dinyatakan lengkap

Setoran awal senilai Rp16,7 miliar kemudian dikirim Andre kepada Zaenudin. Sisanya Rp1,69 miliar bakal dilunasi setelah semua sertifikat tanah dibalik nama. Namun hasilnya hanya tiga sertifikat hak milik (SHM) sukses balik nama.

Muncul masalah untuk tanah seluas 4 hektare di Pandanan, Kabupaten Lombok Barat, yang diketahui masih tertera milik PT GWS seluas 5,5 hektare. Plang tanda kepemilikan tanah PT GWS itu sebelumnya dicabut terdakwa untuk meyakinkan Andre.

Tetapi, H Zen terus mengelak ketika dimintai sertifikat tanah tersebut. Nyatanya tanah itu memang milik orang lain, sehingga Andre meminta pembatalan perjanjian jual beli. Andre meminta pengembalian pembayaran yang diserahkan sebelumnya.

Namun, terdakwa tidak mampu mengembalikan uang tersebut karena sudah habis untuk dibelikan tanah. H Zen lalu menawarkan penggantian tanah seluas 4 hektare. Tanah itu kemudian terungkap bukan milik terdakwa melainkan milik orang lain.

Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021