Soekarno sendiri sangat dekat dengan ahli bahasa.
Jakarta (ANTARA) -
Pancasila dalam sudut pandang Seni dan Budaya menjadi topik diskusi hangat dalam talkshow dan seni yang diselenggarakan oleh Badan Kebudayaan Nasional Pusat (BKNP) PDI Perjuangan di Jakarta, Selasa.
 
Talkshow yang dihelat dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila dan Bulan Bung Karno ini dibuka oleh Panitia Pengarah Bulan Bung Karno PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat.
 
Dijelaskan pula bahwa acara ini dihelat dalam rangka mengajak anak muda Indonesia untuk berani secara kreatif dan cerdas memaknai Pancasila dalam bentuk kekinian dan modern tanpa meninggalkan spirit sejarah.
 
"Bulan Bung Karno menjadi cara PDIP mengajak anak muda untuk memaknai Pancasila dalam bentuk kekinian, modern, tanpa meninggalkan spirit sejarah," kata Djarot dalam siaran persnya.

Baca juga: Diaspora: Pancasila beri jati diri warga negara Indonesia
 
Pada kesempatan itu, musisi sekaligus komposer Addie M.S. dan Garin Nugroho Riyanto (sutradara dan budayawan) menjadi narasumber utama dalam talkshow perdana Bung Karno Series ini.
 
Addie M.S. pada posisinya sebagai musisi mengutarakan bahwa Pancasila sampai kapan pun akan menjadi solusi untuk negeri Indonesia yang bineka ini dengan adanya sila ketiga persatuan Indonesia merupakan sebuah solusi untuk Indonesia pada masa kini dan masa yang akan datang.
 
"Justru lebih perlu lagi kalau kita lihat teknologi informasi pada era globalisasi ini membanjiri masyarakat, apa pun informasi yang diinginkan akan datang sendiri," kata Addie.

Ia melanjutkan, "Dengan adanya Pancasila, ini sebagai alat pemersatu, bahwa dengan informasi apa pun yang kita dapat, jangan lupa akan persatuan. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kalau Pancasila itu tidak ada."
 
Addie menyebut Pancasila yang sudah ada di bumi Indonesia dengan cara yang halus dan tajam sehingga apa yang para seniman lakukan sekarang ini adalah memekarkan atau mengharumkannya kembali di tengah masyarakat.
 
Ia mencontohkan lagu anak-anak yang berjudul Pelangi-pelangi, sudah jarang terdengar di televisi-televisi, beda dengan zaman dahulu ketika disiarkan oleh TVRI, semuanya ikut satu suara menyanyikan.
 
"Namun, sekarang tidak bisa lagi seperti itu karena zaman sudah makin modern dan sudah majemuk, kemudian hal ini sudah terejawantahkan pada porsi geraknya masing-masing sesuai dengan perannya," tutur Addie​​​​​​.

Baca juga: Gerindra nilai Pancasila warisan terbesar dan fundamental Bung Karno
 
Dengan adanya perbedaan sudut pandang dan gerak masing-masing, menurut Addie, merupakan aset, terlebih dalam dunia seni.
 
Namun, hal yang paling penting adalah bagaimana menghadirkan kembali spirit Pancasila pada era kekinian.
 
Dalam hal seni, bagaimana lagu-lagu zaman dahulu yang mengajarkan nasionalisme itu di aransemen ulang dengan nada dan musik yang khas dengan zaman sekarang.
 
"Bagaimana semangat Pancasila ini dihadirkan, semangat perjuangan dihadirkan pada era kekinian dengan cara masing-masing sesuai dengan posisi dan kedudukannya masing-masing. Misalnya, lewat lagu anak-anak tadi itu di aransemen ulang," ucapnya.
 
Sutradara dan budayawan Garin Nugroho menilai Pancasila sebagai dasar negara sampai hari ini mempunyai nilai dan aspek seni, bahkan para seniman juga ikut andil dalam merumuskan Pancasila.
 
"Pancasila itu justru berbasis nilai-nilai seni, para penggodok Pancasila itu banyak para senimannya. Kalau enggak ada senimannya, Pancasila enggak akan jadi. Contohnya Muhammad Yamin, Bapak Sonata. Itu baru satu. Muhammad Hatta, ngasih istrinya aja buku. Soekarno? Bahkan dianggap seperti bapak teater," kata Garin.
 
Ia mengungkapkan bahwa nilai-nilai yang membentuk Pancasila itu tidak terlepas dari nilai dan unsur budaya.
 
"Jadi, proses Pancasila adalah proses budaya, bahasa aja, kata Pancasila misalnya dalam membahasakan ada yang diambil dari bahasa Sutasoman misalnya, ada yang dari bahasa Sanskerta. Soekarno sendiri sangat dekat dengan ahli bahasa," kata Garin.

Baca juga: Peringatan hari Pancasila bawa pesan bersatu dari RSDC Wisma Atlet
 

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021