Indonesia membutuhkan stimulus fiskal yang mendukung transisi energi sembari memotori pemulihan ekonomi jangka pendek.
Jakarta (ANTARA) - Organisasi analisis dan penasihat keuangan Climate Policy Initiative (CPI) menulis laporan terbaru yang menyebutkan bahwa program transisi energi di Indonesia membutuhkan dukungan stimulus fiskal agar komposisi bauran energi terbarukan 23 persen dapat terwujud pada 2025.

"Indonesia membutuhkan stimulus fiskal yang mendukung transisi energi sembari memotori pemulihan ekonomi jangka pendek," kata Direktur Asosiasi CPI Tiza Mafira dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

Laporan terbaru itu menganalisis adanya kesempatan di balik stimulus fiskal COVID-19 dalam menggapai target transisi energi karena ada penurunan konsumsi listrik di sektor industri dan komersial, serta kenaikan permintaan listrik sektor rumah tangga sebagai dampak dari protokol pencegahan COVID-19.

Baca juga: Menteri ESDM ungkap strategi RI capai target karbon netral pada 2060

Meskipun begitu, konsumsi energi di sektor industri dan komersial diproyeksikan untuk kembali seperti biasanya sampai pandemi dapat tertangani dengan baik.

Stimulus fiskal Indonesia atau Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) disebut belum mempertegas tujuannya dalam bidang perbaikan lingkungan.

Pemerintah mengalokasikan Rp695,2 triliun untuk fokus pada sosial perlindungan dan insentif fiskal untuk bisnis di berbagai sektor. Alokasi terkait transisi energi hanya mewakili mewakili 0,9 persen dari total anggaran PEN.

"Bappenas telah menggarisbawahi pentingnya energi bersih bagi ekonomi serta pembentukan lapangan kerja yang lebih baik dari energi konvensional dengan mengeluarkan rekomendasi ‘Build Forward Better’. Namun, implementasi tersebut belum terealisasi dalam stimulus fiskal yang ada," kata Tiza.

Baca juga: Bappenas andalkan EBT tingkatkan investasi di Pulau Sumba

Para penulis dalam laporan itu mengakui program PEN di Indonesia dapat memberikan dorongan yang signifikan bagi sektor lingkungan dan iklim.

Namun, beberapa hambatan struktural dan kebijakan yang cenderung bersifat jangka pendek menghambat keberlangsungan jangka panjang.

Sementara itu Direktur Pelaksana Global CPI Barbara Buchner menegaskan bahwa pemerintah Indonesia perlu memanfaatkan keuangan publik dengan bijak.

Baca juga: Realisasi bauran EBT capai 13,55 persen hingga April 2021

Hal ini semakin penting setelah terjadi pandemi COVID-19 bahwa keuangan publik memiliki peran besar, tetapi sumber daya yang terbatas harus dialokasikan untuk dampak yang katalistik.

"Untuk memastikan pengeluaran publik yang efisien dan berorientasi pada keberlanjutan jangka panjang, stimulus fiskal perlu mencakup target, linimasa, jalur sektoral, dan rencana yang spesifik dalam mengurangi emisi dan menstimulasi pemulihan ekonomi," kata Barbara Buchner.

Laporan teranyar bertajuk 'Leveraging fiscal stimulus to improve energy transition: Case of South Korea and Indonesia' tersebut dikembangkan oleh kolaborasi antara Climate Policy Initiative dan Seoul National University.

Laporan itu bertujuan untuk mengukur kontribusi pemulihan ekonomi di kelima ekonomi terbesar di Asia terhadap target iklim di masing-masing negara, di antaranya Indonesia dan Korea Selatan.

Studi tersebut memberikan tiga rekomendasi untuk memastikan stimulus fiskal yang dapat mendukung transisi energi secara konkret dan menjunjung pemulihan ekonomi berkelanjutan.

Pertama, mendukung pertumbuhan ekonomi jangka pendek sembari menangani target-target terkait iklim, keberlanjutan, dan inklusi ekonomi secara jangka panjang.

Kedua, memastikan pengeluaran publik yang diterapkan secara efisien untuk mencapai tujuan keberlanjutan secara jangka panjang.

Ketiga, menciptakan iklim investasi swasta yang menarik bagi proyek transisi hijau, sambil mengurangi tekanan pada pengeluaran publik.

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021