mitigasi pembiayaan risiko bencana di Indonesia perlu dukungan dari berbagai pihak
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengingatkan bahwa sektor swasta penting untuk membantu mitigasi pembiayaan risiko bencana alam agar mengangkat sebagian beban APBN terkait hal tersebut.

Peneliti di Departemen Ekonomi CSIS, Deni Friawan dalam webinar bertajuk "Mitigasi Pembiayaan Risiko Bencana Alam", Kamis, menyatakan bahwa mitigasi pembiayaan risiko bencana di Indonesia perlu dukungan dari berbagai pihak.

"Tidak hanya pemerintah tapi masyarakat dan sektor swasta. Karena pada kenyataannya, sebenarnya apa yang telah dilakukan pemerintah selama ini sudah cukup baik. Hanya permasalahannya adalah kapasitas pemerintah untuk menanggulangi seluruh bencana itu terbatas," kata Deni.

Menurut dia, selama ini ada kesenjangan sekitar 78 persen dari pembiayaan mitigasi risiko bencana yang bisa ditanggulangi oleh APBN.

Ia menambahkan, masalah lain yang dialami dalam mitigasi pembiayaan risiko bencana alam adalah administrasi dan birokrasi pemerintahan yang panjang.

Untuk itu, masih menurut Deni Friawan, diperlukan peran serta masyarakat dengan skema public private partnership (PPP).

"Sektor swasta dengan keahlian yang dapat dimanfaatkan dan lebih efisien. Nah di sini kita mencari keseimbangan mana peran pemerintah yang baik, itu yang dipegang pemerintah, mana peran swasta yang baik itu bisa kontribusi swasta," paparnya.

Deni menjelaskan mengenai model pembiayaan risiko bencana yang dapat dipergunakan seperti nonpasar, voluntary, swadaya masyarakat, sumbangan, dan lainnya. Untuk skema yang menggunakan pasar dapat dilakukan dengan asuransi atau dari pemerintah.

Pembicara lainnya, Direktur Pengelolaan Risiko Keuangan Negara DJPPR, Kementerian Keuangan, Heri Setiawan mengatakan, pembiayaan risiko bencana alam tidak bisa hanya dilakukan pemerintah meski pemerintah dalam APBN sudah menyiapkan anggaran seperti untuk mitigasi dan tanggap darurat.

"Tapi memang apabila bencananya besar, anggaran tidak cukup. Untuk tanggap darurat dan Indonesia ini luas. Jenis bencananya banyak sekali dan kalau itu berbarengan dan besar-besar, dana APBN tidak cukup," kata Heri.

Sementara itu, Direktur Humanitarian & Emergency Affairs, Wahana Visi Indonesia, Margaretha Siregar mengatakan pembiayaan risiko bencana, di Indonesia penting karena melihat data terdapat lebih 1.400 kali kejadian bencana di Indonesia di tahun 2021. Belum lagi mengingat kondisi geografis Indonesia terletak di Ring of Fire yang rentan terpapar risiko bencana.

Ia menambahkan, tingginya risiko bencana tersebut membutuhkan inovasi pembiayaan risiko bencana.

Pemerintah, lanjutnya, melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah merumuskan apa saja yang perlu dilakukan atau direkomendasikan terkait bencana dan rehabilitasinya. Namun, hal itu harus ditindaklanjuti hingga level masyarakat sebagai pihak penerima manfaat dari pembiayaan risiko bencana.

Sebelumnya, Direktur Pengembangan Strategi Penanggulangan Bencana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo menegaskan pentingnya manajemen bencana dalam proses penanggulangan bencana.

"Yang dimaksud penanggulangan bencana itu bukan sekedar respons, tapi ada manajemen di risiko bencana yang prabencana dan tentunya ada yang saat dan pascabencana," kata Agus dalam diskusi, Rabu (16/6).

Agus menuturkan, guna menjalankan sistem penanggulangan bencana itu perlu ada pengembangan kapasitas berbagai faktor pendukung baik dari sisi kelembagaan, perencanaan, pendanaan maupun legislasinya.

Baca juga: ADB perkenalkan pembiayaan kontinjensi bencana untuk bencana alam
Baca juga: Bank Dunia bersama Jerman dan Inggris luncurkan pembiayaan risiko bencana
Baca juga: Akademisi ingatkan pentingnya mitigasi bencana berbasis riset
Baca juga: ADB setujui pinjaman 500 juta dolar AS untuk pendanaan darurat bencana

 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021