Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Charles Honoris mempertanyakan alasan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak menarik "rem darurat" untuk menangani lonjakan kasus COVID-19.

Charles Honoris dalam keterangan persnya diterima di Jakarta, Minggu, mengatakan Provinsi DKI Jakarta mencetak rekor angka harian COVID-19.

Selama Dua hari berturut-turut, DKI mencetak rekor tertinggi angka kematian harian, yakni 66 jiwa dan angka kasus harian 4.895 kasus.

"Melihat kondisi tersebut, Jakarta bukan hanya sedang tidak baik-baik saja, dalam kondisi DKI begitu, langkah Gubernur DKI Anies Baswedan yang hanya memperketat penegakan aturan PPKM mikro jelas tidaklah cukup," kata dia.

Data harian keterisian tempat tidur (bed occupancy rate/BOR) faskes DKI kata dia sudah di atas 80 persen, jauh di atas standar WHO 60 persen. Bahkan, BOR RSDC Wisma Atlet sudah 90 persen, atau tertinggi selama faskes darurat itu berdiri.

"Ini membuat DKI menjadi provinsi dengan BOR faskes tertinggi secara nasional, atau dengan kata lain terancam kolaps," ucapnya

Gubernur DKI, menurut Charles, harus menerapkan PSBB total, sebagaimana yang pernah diterapkan di ibu kota pada 16 Maret 2020 dan 14 September 2020. Sebab, menurut dia kondisi penularan COVID-19 di DKI hari ini lebih parah dari kondisi sebelum gubernur menerapkan dua PSBB sebelumnya.

Pada PSBB terakhir di DKI diterapkan 14 September 2020, angka kasus harian berkisar sekitar 1.300 kasus dan angka kematian 20 jiwa lebih, sementara sekarang sudah mencapai 4.800 lebih kasus dan 60 lebih angka kematian.

Charles menyatakan jika dalam kondisi penularan COVID-19 tergawat di DKI sekarang ini gubernur tidak kunjung mengajukan permohonan PSBB total kepada Pemerintah Pusat, sebagaimana mekanisme aturan yang berlaku, maka dasar kebijakan Gubernur DKI pada dua PSBB sebelumnya menjadi pertanyaan buat publik.

"Kalau di awal pandemi dulu Gubernur Anies menjadi yang paling awal dan rajin menarik rem darurat bagi wilayahnya, apa yang menjadi pertimbangan Anies sekarang belum melakukan hal yang sama," ujarnya.

Namun, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menegaskan Pemerintah Provinsi  DKI Jakarta menunggu keputusan dari pemerintah pusat untuk mengambil kebijakan rem darurat ataupun hingga kebijakan "lockdown" terkait kasus COVID-19 di Jakarta yang meningkat signifikan.

"Nanti kita akan pelajari, tunggu keputusan pusat ya," kata Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria di Balai Kota Jakarta, Jumat (18/6) malam.

Riza menekankan pengambilan keputusan untuk menarik rem darurat seperti yang pernah diberlakukan di Jakarta sekitar Februari 2021 tersebut tidaklah terkendala oleh pemerintah pusat.

"Enggak, enggak begitu," ujar Riza, tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Hal yang sama diungkapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti, kebijakan rem darurat merupakan kewenangan pemerintah pusat, meski kondisi COVID-19 saat ini mirip seperti Februari saat pertambahan kasus harian tinggi, bahkan menembus angka 4.213 kasus.

"Kebijakan ada di tingkat pusat. Karena (PPKM Mikro) dari pusat," ucap Widyastuti saat ditemui di Monas, Jumat.

Baca juga: Jakarta sepekan, dari kasus COVID-19 sampai rem darurat
Baca juga: DKI tunggu putusan pemerintah pusat untuk tarik "rem darurat"
Baca juga: DKI pertimbangkan "rem darurat" dari pantauan perkembangan COVID-19



Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Taufik Ridwan
Copyright © ANTARA 2021