Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) menyebut posisi debt collector (penagih hutang) di mata sosial kurang baik karena pemahaman hukum di masyarakat masih kurang.

“Perlu dipahami bahwa kita ada aturan, kita eksekusi karena kita juga harus bayar utang kepada perbankan. Semua itu ada aturan main yang dituangkan dalam perjanjian,” kata Ketua Umum APPI Suwandi Wiratno dalam webinar Infobank, Senin.

Suwandi menyampaikan bahwa perusahaan pembiayaan pada saat ini lebih berhati-hati dengan membuat satu halaman rangkuman perjanjian agar debitur memahami pokok-pokok inti perjanjian.

“Debitur hanya perlu membaca pokok-pokok inti perjanjian dan menandatangani di atas meterai, sehingga dia tidak bisa lagi mengelak tidak mengetahui isi perjanjian,” ujar Suwandi.

Ia menegaskan bahwa penagihan pembiayaan tidak serta merta dilakukan dengan cara eksekusi, melainkan melewati beberapa tahapan. Pertama, desk coll (desk collection) untuk mengingatkan pembayaran, kemudian tahapan kedua field coll (field collection) untuk menjemput pembayaran dan penagihan. Lalu, internal collector yakni penagihan dan eksekusi dan barulah pada tahap terakhir eskternal collector yakni eksekusi dan pelunasan.

Sebanyak 90-95 persen debitur yang dieksekusi, katanya, merupakan debitur yang keberadaan objek jaminan tidak diketahui, debitur yang tidak ditemukan sesuai alamat penagihan, atau debitur dan objek jaminan yang tidak dapat ditemukan. Sedangkan jika debitur berada di alamat penagihan dan objek jaminan juga berada di tangan debitur, pihak pembiayaan tidak akan melakukan eksekusi paksa.

Kegiatan eksekusi tersebut sesuai dengan UU Jaminan Fidusia Nomor 42 Pasal 35 dan 36. Kendati demikian, Suwandi mengingatkan agar perusahaan pembiayaan menagih sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan melalui POJK No 35 Tahun 2018.

“Jangan ujung-ujungnya kena SP (surat peringatan) dari OJK. Prosedut itu harus dipenuhi supaya tidak salah dalam melakukan penagihan,” tuturnya.

Lebih lanjut Suwandi menyampaikan, guna menghindari citra kurang baik debt collector di mata sosial, kini perusahaan pembiayaan telah menggunakan sistem informasi yang berfungsi sebagai sarana pertukaran informasi kredit antar lembaga Jasa keuangan yang bernama Sistem Layanan Informasi Keuangan (SILK).

Melalui SILK, sejarah hutang debitur tercatat termasuk juga tunggakan kredit data dan apabila memiliki sejarah kredit yang buruk akan menyebabkan sulitnya mendapatkan pinjaman kembali dari lembaga keuangan.

“Dengan adanya SILK dan infrastruktur pengecekan di awal, debitur-debitur yang kita setujui adalah debitur yang memang mampu mencicil dan kalaupun tidak mampu karena masalah cash flow, mudah-mudahan perlahan masalah eksekusi di lapangan dapat secara berangsur-angsur lebih kecil,” ungkapnya.

Baca juga: OJK: "Debt collector" harus bawa dokumen resmi saat tagih utang
Baca juga: OJK tidak tolerir "debt collector" yang langgar hukum
Baca juga: Polisi tahan "debt collector" yang diduga terlibat kasus pengeroyokan
Baca juga: MPR apresiasi polisi tangkap 11 "debt collector" aksi premanisme

 

Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021