Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif The Cyrus Network Hasan Nasbi menilai kritik pemasangan baliho yang memuat gambar dan pesan dari tokoh-tokoh politik di musim pandemi bisa menjadi "nyinyiran" yang tidak berujung.

“Kalau kita ikuti pendirian-pendirian kayak gini, akhirnya kita akan sampai pada 'nyinyir' tak berujung,” kata Direktur Eksekutif The Cyrus Network Hasan Nasbi dalam keterangan pers diterima di Jakarta, Rabu.

Hasan Nasbi juga menyoroti kritik yang beredar luas di media sosial, soal dana pemasangan baliho tokoh publik yang lebih baik digunakan untuk bantu masyarakat terdampak pandemi.

“Ini kan kata-kata yang seolah-olah punya pendirian moral tapi pendirian moral ini sulit untuk dipertanggungjawabkan,” kata Hasan Nasbi.

Hasan lalu menganalogikan pemasangan baliho dengan kebutuhan seseorang terhadap pakaian baru yang memang ingin dibeli.

Baca juga: Pengamat sarankan vandalisme baliho Puan disikapi tenang

“Terus kalau ada orang yang tiba-tiba nyinyir kenapa harus beli baju baru sih di antara banyak orang kelaparan, kenapa gak uang untuk beli baju baru kamu disumbangkan kepada orang yang membutuhkan,” kata Hasan.

Hasan mengatakan, kehidupan di luar penanganan pandemi harus terus berjalan, termasuk kehidupan politik. Oleh karena, waktu pemasangan baliho politik saat pandemi tidak ada ukurannya untuk dikatakan tepat atau tidak tepat.

“Menurut saya karena teorinya waktu yang tepat untuk masang baliho, masang spanduk, bisa kemarin, bisa hari ini, bisa besok, bisa bulan depan," kata dia.

Jadi menurut dia waktu pemasangan baliho politik tergantung para tokoh-tokoh tersebut kapan mau memulainya.

"Kan bisa saja pasang media luar ruang saat lebaran, ucapkan selamat lebaran. Nanti dikritik lagi kok masa pandemi pasang spanduk ucapan selamat lebaran,” katanya.

Menurutnya, pemasangan baliho politik itu tidak ada hubungannya dengan empati saat pandemi. Namun, kata dia bukan berarti orang yang memasang baliho saat pandemi tidak melakukan tindakan-tindakan bentuk kemasyarakatan.

Baca juga: Pengamat: Baliho Puan karena aspirasi "akar rumput" untuk 2024

"Dia pasang billboard, tapi dia juga menyumbang ke masyarakat, dia juga buat kebijakan yang membantu masyarakat. Dua-duanya bisa berjalan sekaligus,” kata Hasan.

Menurut dia, yang perlu dikritik dari pemasangan-pemasangan baliho politik seperti soal apakah pemasangannya di tempat resmi yang diizinkan pemerintah daerah setempat, atau apakah pemasangan baliho tersebut membayar pajak.

Hasan mengingatkan, proses politik yang memerlukan biaya yang besar juga menggerakkan ekonomi masyarakat, terlebih di masa-masa sulit seperti saat ini. Contohnya menurut Hasan ketika penyelenggaraan Pilkada 2020 yang sudah menggerakkan ekonomi di akar rumput.

"Pada 2020 orang mengkritik kenapa harus ada Pilkada di 2020. Tapi jangan lupa, perputaran uang ketika ada Pilkada 2020, kalau menurut perhitungan pemerintah, itu mencapai Rp35 triliun,” ujar Hasan.

Menurut dia, menstimulus penghasilan warga dengan perputaran uang di sektor perekonomian merupakan cara terhormat dalam membantu kehidupan warga.

“Dan itu orang yang diberi kehidupan dengan cara terhormat. Karena dia bekerja, dapat gaji, keluarganya dapat makan,” kata Hasan.

Baca juga: Ahmad Sahroni tampik ada motif politik dari baliho soal mimpi

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021