Jakarta (ANTARA) - Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan bahwa meskipun terbantahkan, kekhawatiran deindustrialisasi di Indonesia sepatutnya dijadikan alarm bahwa banyak hal harus dibenahi agar sektor industri pengolahan mampu berkembang dan berperan secara berkelanjutan bagi perekonomian nasional.

"Pengalaman di masa lalu memberikan pelajaran, bahwa pertumbuhan yang tinggi saja tidak membuat ekonomi menjadi kokoh, tidak menjadikan industri manufaktur menjadi kuat," kata Menperin melalui pernyataannya di Jakarta, Selasa.

Menperin menyampaikan hal itu pada pernyataan tentang 'Refleksi HUT RI ke-76 Membangun Industri Dalam Negeri yang Mandiri, Berdaulat, Maju, Berkeadilan, dan Inklusif'

Menperin memaparkan, ada unsur yang mesti menjadi pedoman dalam membangun perekonomian, terlebih khusus industri manufaktur, yaitu kemandirian.

Pertumbuhan ekonomi bersamaan dengan pertumbuhan industri manufakur yang sangat pesat di masa lalu kerap kali membuat lupa bahwa struktur industri manufaktur Indonesia masih sangat bergantung pada sumber daya luar atau impor.

Hal itu tercermin dari struktur impor Indonesia yang sejak 1981 hingga kini masih sangat didominasi oleh impor bahan baku dan penolong serta barang modal.

Perkembangan industri dan peningkatan ekspor tidak akan optimal manfaatnya jika selalu diikuti dengan meningkatnya impor.

"Bahkan dalam skala tertentu, peningkatan impor barang modal serta bahan baku dan bahan penolong justru membuat rapuh ketahanan industri manufaktur," ujar Menperin.

Manakala, lanjutnya, harga barang impor meningkat, atau saat pasokan tersendat atau bahkan terhenti akibat suatu peristiwa, seperti pandemi yang sedang dialami saat ini, industri manufaktur menjadi limbung dan bahkan mendekati kematian.

Agus mengatakan, pandemi COVID-19 membuka mata Indonesia untuk melihat banyak hal. Antara lain masih banyak celah kosong di sisi supply chain dalam struktur industri manufaktur Indonesia.

Sektor farmasi menjadi contoh aktual. Ketergantungan terhadap impor bahan baku termasuk jenis obat untuk terapi COVID-19, ditambah dengan faktor panic buying oleh masyarakat, membuat obat terapi COVID-19 sempat menjadi barang langka dan mahal.

"Kita mesti bersaing dalam impor bahan baku obat dan obat jadi dengan banyak negara yang sama-sama membutuhkan," ujar Agus.

Dengan keanekaragaman hayati dan sumber daya manusia yang dimiliki, Indonesia semestinya bisa mengembangkan industri yang kuat di sektor farmasi dan alat kesehatan.

"Kita mampu untuk itu. Kita sudah mengembangkan dan memproduksi beberapa obat modern asli Indonesia (OMAI) yang telah digunakan di beberapa negara di Eropa," tukas Menperin.

Agus juga mengatakan bahwa Indonesia sudah mampu membuat ventilator dan generator/konsentrator oksigen dalam negeri. Prototipenya sudah ada dan kini tengah menunggu hasil uji klinis untuk bisa diproduksi secara massal.

"Jika alat-alat kesehatan tersebut sudah bisa diproduksi, maka kemandirian industri alat kesehatan dan sektor kesehatan kita akan semakin kuat," pungkas Agus.

Baca juga: Kadin: lawan deindustrialisasi dini dengan hilirisasi
Baca juga: Anggota DPR ingin pemerintah atasi potensi deindustrialisasi
Baca juga: INDEF: Indonesia alami deindustrialisasi

 

Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021