Bogor (ANTARA) - Wakil Presiden Republik Indonesia ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK), berbagi pengalaman saat menjadi mediator penyelesaian konflik di dalam dan luar negeri, yakni sekitar 15 konflik besar.

Jusuf Kalla menyampaikan pengalamannya sebagai mediator penyelesaian konflik pada webinar bertajuk "Memperkokoh Jembatan Kebangsaan: Belajar Mediasi Konflik dari Pengalaman Jusuf Kalla" yang diselenggarakan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, Kamis.

Webinar diselenggarakan untuk memperingati Hari Ulang Tahun ke-76 Kemerdekaan Republik Indonesia dengan menampilkan pembicara utama HM Jusuf Kalla.

Menurut Jusuf Kalla, dalam setiap penyelesaian konflik harus menggunakan jalan tengah dan membutuhkan mediator.

Selama 76 tahun Indonesia merdeka, tercatat telah terjadi 15 kali konflik besar, empat konflik diantaranya diselesaikan dengan cara damai, kemudian yang lainnya diselesaikan melalui operasi militer.

Baca juga: Jusuf Kalla: Indonesia bangsa yang teguh dan mampu menjaga keutuhan

"Kalau Anda ingin menjadi mediator, syaratnya, pertama, adalah mengetahui permasalahannya dengan detail. Kedua, harus independen. Jika mediator berpihak, maka akan kehilangan kepercayaan dan bisa memperkeruh konflik,” katanya.

Pada webinar tersebut, Wali Kota Bogor, Bima Arya, menjadi salah satu komentator. Menurut Bima Arya, langkah Jusuf Kalla menjadi mediator penyelesaian konflik menginspirasi banyak orang. "Kami bangga dengan keberhasilan perdamaian di Aceh, di Poso dan di daerah lainnya," katanya.

Menurut Bima Arya, langkah Jusuf Kalla dalam banyak hal tidak bisa dibantah, tapi dirinya menyampaikan sedikit catatan untuk Jusuf Kalla, yang mungkin bisa membantu mencerahkan generasi yang lebih muda.

Bima kemudian, bercerita mengenai jalan panjang penyelesaian polemik GKI Yasmin di Kota Bogor. Konflik GKI Yasmin berlangsung selama sekitar 15 tahun, yang kemudian berhasil diselesaikan pada awal Agustus ini.

"Ketika saya belum jadi wali kota, saya melihat konflik Gereja Yasmin itu dengan penuh kekesalan. Kemudian ketika saya jadi wali kota, saya pelajari persoalannya secara detail, ternyata tidak simpel. Persoalannya komplek," katanya.

Bima juga menyatakan, jadi ingat pelajaran resolusi konflik, bahwa konflik itu ada dua level. Kalau ada dua pihak yang bertarung, di masing-masing pihak itu banyak lapisan lagi. "Disitulah saya melihat realitas yang sama. Untuk memahami anatomi konflik itu, sangat tidak mudah,” katanya.

Bima juga meminta pandangan Jusuf Kalla, sejauh mana menempatkan dimensi hukum di atas prinsip-prinsip pemenuhan hak yang masih menjadi perdebatan, dalam penyelesaian konflik Gereja Yasmin.

Menanggapi pertanyaan Bima Arya, Jusuf Kalla menyampaikan apresiasi kepada Bima Arya karena menilai dapat menyelesaikannya secara formal.

Menurut Jusuf Kalla, mengenai polemik GKI Yasmin ini, dirinya pernah berbicara pada pertemuan para pendeta se-Indonesia di Makassar sekitar tahun 2010 atau 2011.

Jusuf Kalla menjelaskan, bahwa bahwa beribadah itu hak asasi semua orang. "Tapi saya bilang, beribadah itu oleh Tuhan tidak ditentukan tempatnya. Anda boleh beribadah di rumah, di pantai, di gunung, di gereja, atau di mana," katanya.

Dia menegaskan, soal Gereja Yasmin itu soal bangunan. "Jadi soal bangunan itu wali kota, bukan Tuhan. Tuhan tidak mengatakan, doa Anda diterima kalau berdoa di tempat itu. "Tuhan itu adil, di manapun doa kita diterima. Jadi, yang kita hadapi ini bukan soal hak asasi manusia,” katanya.

Baca juga: JK yakin Afghanistan tak akan terjadi perang saudara
Baca juga: Jusuf Kalla doakan korban COVID-19 pada Hari Raya Idul Adha

Pewarta: Riza Harahap
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021