Ketimpangan gender ini membuat perempuan menjadi rentan terhadap kekerasan, diskriminasi dan perlakuan salah lainnya
Jakarta (ANTARA) - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengatakan budaya patriarki yang mengakar dalam masyarakat membuat perempuan menjadi rentan terhadap kekerasan dan diskriminasi.

"Hingga saat ini perempuan masih dikategorikan sebagai kelompok rentan karena budaya patriarki yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat kita yang telah menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Ketimpangan gender ini kemudian membuat perempuan menjadi rentan terhadap kekerasan, diskriminasi dan berbagai perlakuan salah lainnya," kata Menteri Bintang melalui siaran pers yang diterima ANTARA di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, perempuan ataupun laki-laki berpotensi menjadi korban ataupun pelaku. Meski kenyataannya, perempuan masih menjadi kelompok paling rentan.

Baca juga: Menteri PPPA ajak perempuan adaptif dan berani hadapi tantangan

Di tengah situasi pandemi COVID-19, meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap penggunaan teknologi telah memicu potensi kekerasan berbasis gender online (KBGO).

Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2021 menyebut peningkatan tajam kekerasan berbasis gender online di masa pandemi. Tercatat yang dilaporkan ke Komnas Perempuan naik dari 241 kasus pada 2019 menjadi 940 kasus pada 2020. Sementara dari laporan lembaga layanan, terjadi peningkatan KBGO dari 126 kasus pada 2019 menjadi 510 kasus pada tahun 2020.

Dalam kasus kekerasan berbasis gender, angka yang tercatatkan selalu lebih kecil dibandingkan jumlah kasus sebenarnya.

Baca juga: DPR dukung langkah strategis KPPPA meski refocusing anggaran

"Perlu kita ingat bahwa tidak ada satu orang pun yang berhak mendapatkan kekerasan, bagaimanapun situasinya. Mereka (penyintas kekerasan) bukan hanya sekedar angka. Mereka adalah ibu, anak, saudara, teman, yang dikasihi oleh orang-orang di sekitar mereka, yang berhak mendapatkan keadilan," tegas Menteri Bintang.

Ada berbagai faktor yang membuat kebanyakan korban enggan melaporkan kekerasan yang dialaminya, tak terkecuali kini di tengah kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), KBGO muncul menjadi teror baru yang dapat mengancam siapa saja.

"Permasalahan pelaporan tidak hanya terjadi dalam kekerasan berbasis gender yang sifatnya fisik, namun juga yang sifatnya daring. Banyak sekali penyintas yang tidak berani melaporkan kejadian karena takut diperkarakan kembali oleh pelaku. KBGO masih menjadi isu yang baru bagi banyak pihak," ujar Menteri Bintang.

Baca juga: Menteri Bintang: Sikap optimis dibutuhkan untuk bertahan saat pandemi

Dia berujar risiko KBGO terhadap perempuan akan semakin tinggi jika upaya khusus tidak dilakukan. Menteri PPPA pun mengajak seluruh pihak untuk memperkuat perjuangan menghentikan KBGO. Sinergi juga harus dilakukan tidak hanya pada tingkat nasional, tetapi juga internasional.

Pihaknya pun sangat mendukung diluncurkannya Buku Cedera Dunia Maya. Buku yang diterbitkan LBH APIK Jakarta ini berisi cerita para penyintas KBGO.

"Melalui cerita para penyintas KBGO, kita akan semakin memahami perspektif mereka, berempati, mengenali masalah-masalah dalam sistem, mencari solusi dan membangun sistem yang dapat berpihak kepada mereka. Saya mendorong seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat luas untuk membaca buku ini," tutur Menteri Bintang.

Bagi masyarakat yang ingin membaca buku dapat mengakses melalui website resmi publikasi LBH APIK https://awaskbgo.id/publikasi/ yang dijadwalkan akan terbit dalam dua minggu ke depan.

Baca juga: Menteri: Wujudkan kesetaraan gender, perlu upaya bersama

 

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2021