Jakarta (ANTARA Ndews) - Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke negeri lain harus dilandasi "memorandum of understanding" kedua pemerintahan, karena tanpa adanya MoU berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Demikian disampaikan Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Istibsyaroh dalam "press gathering" mengenai Sosialisasi Kegiatan DPD RI di Kebon Raya Bogor, Jawa Barat, yang berlangsung Sabtu dan berakhir Minggu.

Tim Pengawas Pelaksanaan Ibadah Haji Komite III DPD telah mengawasi pelaksanaan ibadah haji tahun 2010 di Arab Saudi. Untuk memperoleh informasi seutuhnya, Tim Pengawas Pelaksanaan Ibadah Haji Komite III DPD menemui Konsul Jenderal Republik Indonesia di Jeddah, Zakaria Anshar, di Wisma Indonesia, Madinah, Jumat (19/10).

Diperoleh informasi bahwa kasus penyiksaan Sumiati telah ditangani kepolisian, kemudian badan investigasi setempat menindaklanjutinya. Kasus kematian Kikim juga telah ditangani badan investigasi setempat.

Hari Sabtu (20/10) malam, Tim Pengawas Pelaksanaan Ibadah Haji Komite III DPD mengunjungi Sumiati di Rumah Sakit King Fahd. Tim Pengawas Pelaksanaan Ibadah Haji Komite III DPD mendesak Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Arab Saudi dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Jeddah untuk memaksimalkan pendampingan selama proses hukum seperti advokasi untuk TKI yang menjadi korban.

Menurut Istibsyaroh, pemerintah Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi belum menandatangani MoU tenaga kerja. Karena itu, DPD RI mendorong pemerintah agar terus berjuang untuk mewujudkan adanya MoU dengan negara itu dan negara-negara lain.

DPD juga mendorong agar pengiriman tenaga kerja jangan hanya sekelas pembantu rumah tangga. Perusahaan Jasa Tenaga Kerja harus mengangkat derajat bangsa dan negara dengan tidak seenaknya merekrut tenaga kerja tanpa memperhatikan perlindungan yang diterima TKI.

DPD juga berharap pengawasan pemerintah terhadap PJKTI serta seluruh proses pengiriman tenaga kerja ke luar negeri harus ditingkatkan. Keseriusan akan memberi epastian nasib dan pendapatan kepada TKI serta bagi negara. Hal itu telah dirasakan oleh Manila.

Ketua Komite III DPD RI Istibsyaroh menganggap, ketidakmampuan negara menyediakan lapangan pekerjaan yang layak, posisi tawar TKI yang rendah, dan dominasi kepentingan penyalur TKI menjadi sebab yang memperburuk nasib TKI.

Komite III DPD juga mendesak Pemerintah Indonesia membuka layanan hotline 24 jam sebagai akses pengaduan yang terhubung ke petugas-petugas di negara setempat.

Pemerintah Indonesia perlu segera mengevaluasi kebijakan penempatan TKI di luar negeri, diikuti perubahan paradigma yang menganggap TKI sebagai "aset" bukan "komoditi".

Setelah mengevaluasinya, Pemerintah menyusun kebijakan komprehensif pra dan pasca penempatan TKI yang memprioritaskan peningkatan pendidikan TKI agar mereka memiliki kompetensi sebagai bekal wira usaha, katanya. (*)

S023/R014

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010