Inti dari pembentukan regulasi adalah terkait dengan kemanfaatan dan tujuan pemerintah untuk menciptakan kemaslahatan bersama.
Jakarta (ANTARA) - Ahli dari kuasa Presiden dalam sidang uji formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) Lita Tyesta Addy Listya Wardhani menyebut metode omnibus law merupakan jalan untuk menyelesaikan kebuntuan peraturan perundang-undangan.

"Secara keilmuan metode omnibus law merupakan perkembangan yang baik sebagai jalan untuk menyelesaikan kebuntuan dalam rangka merampingkan berbagai peraturan perundang-undangan selama ini," kata Lita dalam sidang uji formil UU Ciptaker terhadap UUD NRI Tahun 1945 yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Kamis.

Lita yang memberikan keterangan atas Perkara Nomor 107/PUU-XVIII/2020 juga sepakat dengan penggunaan metode penggabungan regulasi tersebut dalam pembentukan UU Ciptaker sebagai salah satu upaya di bidang hukum serta peraturan perundang-undangan yang mampu untuk menyelesaikan persoalan hiperregulasi.

Baca juga: LAN dorong pemda sinkronisasi perda dan perkada sesuai UU Cipta Kerja

Persoalan tersebut, lanjut dia, berakibat terjadinya tumpang-tindih materi muatan regulasi, disharmonisasi, implementasi yang tidak selaras, hingga ketidakpastian hukum.

Ia menyebut kondisi itu berdampak salah satunya pada bidang ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Lita juga menyinggung mengenai masih terdapat dikotomi antara civil law (hukum perdata) dan common law (hukum adat) di tengah perkembangan dunia saat ini.

Padahal, menurut dia, inti dari pembentukan regulasi adalah terkait dengan kemanfaatan dan tujuan pemerintah untuk menciptakan kemaslahatan bersama dan tujuan yang ingin dicapai negara.

"Karena pada kenyataannya hukum akan terus berkembang seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat," ucap Lita.

Dalam persidangan itu, hadir pula Satya Harinanto dan Maruarar Siahaan yang turut menjadi ahli yang menyampaikan keterangannya masing-masing atas Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan 105/PUU-XVIII/2020.

Terdapat enam permohonan uji formil UU Ciptaker yang digelar MK, yakni dengan perkara nomor 4, 6/PUU-XIX/2021, 91, 103, 105, dan 107/PUU-XVIII/2020.

Baca juga: Kemenko pastikan penerapan UU Cipta Kerja permudah izin usaha

Dalam persidangan sebelumnya, Rabu (25/8), Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dan anggota Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional M. Sidarta memberikan keterangannya sebagai saksi pemohon Perkara Nomor 4/PUU-XIX/2021 dan pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021.

Said Iqbal dan M. Sidarta menyinggung pihak serikat buruh dan pekerja tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU Ciptaker.

Secara khusus, Said Iqbal juga mengatakan bahwa beberapa pertemuan, baik dengan pemerintah maupun DPR, pada akhirnya tidak mengakomodasi aspirasi dan catatan yang diberikan sebagaimana tercermin dalam UU Ciptaker yang telah berlaku saat ini.

Sidang selanjutnya akan digelar pada hari Kamis (9/9) dengan agenda mendengarkan keterangan tiga ahli kuasa Presiden lainnya.

Pewarta: Muhammad Jasuma Fadholi
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021