Yang paling besar restrukturisasi kredit adalah BRI (Bank Rakyat Indonesia) karena memang yang banyak terdampak COVID-19 merupakan UMKM. Jumlah nasabah BRI yang direstrukturisasi kreditnya mencapai 2,4 juta,
Jakarta (ANTARA) - Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) telah merestrukturisasi kredit 3,3 juta debitur dengan nilai Rp403,99 triliun pada Juli 2021, dengan 64,53 persen dari total debitur tersebut merupakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

“Yang paling besar restrukturisasi kredit adalah BRI (Bank Rakyat Indonesia) karena memang yang banyak terdampak COVID-19 merupakan UMKM. Jumlah nasabah BRI yang direstrukturisasi kreditnya mencapai 2,4 juta,” kata Ketua Himbara Sunarso yang juga Direktur Utama BRI dalam webinar “Tantangan Setelah Relaksasi Restrukturisasi Kredit Berakhir” yang dipantau di Jakarta, Selasa.

Secara rinci sampai Juli 2021 BRI merestrukturisasi kredit 2,4 juta debitur dengan outstanding Rp173,77 triliun dan Bank Mandiri merestrukturisasi kredit 425,47 ribu debitur dengan outstanding Rp92,55 triliun.

Di samping itu Bank Negara Indonesia (BNI) merestrukturisasi kredit 77,42 ribu debitur dengan outstanding Rp80,96 triliun dan Bank Tabungan Negara (BTN) merestrukturisasi kredit 332,80 ribu debitur dengan outstanding Rp56,69 triliun.

Baca juga: OJK: Sebanyak 72 persen debitur restrukturisasi kredit merupakan UMKM

Untuk BRI sendiri, menurut Sunarso, akumulasi kredit yang direstrukturisasi sebetulnya mencapai Rp234 triliun, tetapi sudah berkurang Rp60,3 triliun. Sebanyak 76 persen atau Rp45,69 triliun dari penurunan outstanding restrukturisasi tersebut didapat dari pembayaran kredit yang sesuai dengan ketentuan restrukturisasi.

Sementara itu sebanyak Rp12,4 triliun telah lepas dari restrukturisasi. Sisanya, sebesar Rp2,19 triliun telah lepas buku karena tidak lagi bisa diselamatkan.

Di tengah restrukturisasi kredit, Sunarso mengingatkan agar perbankan tidak terlalu mengutamakan untuk membukukan laba. Saat ini, penting bagi perbankan untuk juga melakukan pencadangan guna menutupi Loan at Risk (LAR) yang berpotensi menjadi Non Performing Loan (NPL).

“Kami masih cadangkan untuk LAR sampai 40 persen dari LAR untuk amannya. Itu dimaksudkan sebagai celengan agar tidak mengganggu sistem perbankan secara keseluruhan,” kata Sunarso.

Baca juga: OJK perpanjang relaksasi restrukturisasi kredit hingga Maret 2023

Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021