Surabaya (ANTARA) - "Sekolah wes mulai mlebu, COVID'e wes ngilang" (Sekolah sudah mulai masuk, pandemi COVID-19 sudah menghilang)," tutur salah satu orang tua siswa, dalam sebuah obrolan kecil di grup WhatsApp wali murid.

Ungkapan ini muncul, usai pihak sekolah melakukan sosialisasi virtual kepada wali murid mengenai tata cara pembelajaran tatap muka (PTM) di tengah pandemi COVID-19. Meski materi sosialisasi ditegaskan bahwa pandemi masih ada dan mengimbau wali murid memberikan pemahaman pada siswa, namun ditanggapi berbeda.

Perbedaan dalam menerima pesan ini wajar terjadi, karena secara psikis para wali murid sangat menyambut gembira dan antusias tinggi menjelang PTM, sehingga muncullah ungkapan demikian.

Hari yang dinanti untuk PTM pun tiba. Selasa (14/9) pagi, pelataran salah satu SD di Kota Malang itu mulai ramai oleh pengantar siswa. Hilir mudik, lalu lalang mobil dan motor pengantar siswa mulai menghiasi jalanan kecil menuju sekolah yang terletak wilayah Jalan Soekarno Hatta tersebut.

Jalanan itu hampir dua tahun terpantau sepi, hanya pedagang keliling dan warga yang melewatinya. Di sisi lain, gedung sekolah pun juga mengalami hal serupa, hanya diisi perangkat sekolah yang masih konsisten datang untuk membersihkan meja serta kaca sekolah.

Keriuhan dan teriakan anak-anak belajar tak pernah terdengar di gedung sekolah yang cukup luas itu hampir dua tahun terakhir. Bahkan, ada yang viral di media sosial di salah satu sekolah, terdengar suara-suara riuh anak sekolah di tengah gedung tak bertuan.

Penggambaran masyarakat yang rindu PTM itu bermacam-macam, meski kebenarannya juga masih perlu diperdebatkan, karena masih dalam ruang lingkup percaya atau tidak percaya.

Namun demikian, psikolog dari Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya Karolin Rista Rumandjo mengatakan penggambaran itu adalah bagian dari persepsi, dan persepsi seseorang tidak bisa dikendalikan secara penuh, sehingga setiap orang mempunyai kebebasan dalam persepsinya masing-masing.

Dosen yang akrab dipanggil Kak Olin ini menjelaskan persepsi itu bisa terbentuk dari informasi yang dikumpulkan serta ditambah dengan keyakinan, bahkan pengalaman masa lalu.

"Di sini perlunya ada informasi yang akurat mengenai PTM, ditambah penjelasan dari tokoh serta pemerintah, agar persepsi yang timbul bisa positif," kata Kak Olin.

Menurutnya, informasi yang akurat dibutuhkan untuk menjelaskan bahwa PTM saat ini adalah bagian dari langkah awal, sehingga masyarakat tidak lantas ueforia dengan adanya keputusan sekolah luring, lalu muncul ungkapan "Sekolah wes mulai mlebu, COVID'e wes ngilang".

Selain informasi, kata Kak Olin, masyarakat juga perlu diberi penjelasan mengenai adanya ancaman COVID-19 yang baru, sehingga tidak berlarut-larut menyambut gembira pelaksanaan PTM, namun juga harus dengan sadar mengantisipasi secara pribadi, yakni taat protokol kesehatan.

"Ueforia yang terjadi dengan adanya PTM ini sangat wajar, sebab kita semua dibatasi begitu lama. Bahkan, beberapa orang menganggap pembatasan itu adalah beban, sehingga ketika ada informasi PTM, mereka merasa sudah saatnya melepaskan beban itu," katanya.

Beban itu, kata dia, bagi beberapa wali murid yang harus mendampingi setiap hari anaknya sekolah virtual, karena merasa pekerjaan yang harus dilakukan orang tua ganda, yakni ya bekerja ya menjadi guru formal di rumah, sehingga menganggap hal itu sebagai beban.

Oleh karena itu, sebagai psikolog, Kak Olin mengimbau masyarakat untuk mampu mengendalikan ueforia, dan itu merupakan tugas semua masyarakat, yakni bersama-sama mengendalikan agar langkah awal ini tidak mundur ke belakang.

"Semua bisa kehilangan langkah awal apabila tidak menanggapinya secara tepat, seperti maskernya dilepas dan tidak taat protokol kesehatan dalam PTM. Oleh karena itu, perlu dikendalikan bersama," katanya.


Loss of learning

Sebelumnya, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menyatakan perlu dilakukan gerak cepat PTM, hal ini untuk mengantisipasi dampak negatif permanen yang bisa menyerang anak-anak.

"Dampaknya kalau tidak bergerak cepat (PTM), maka (pelajar) akan kehilangan atau loss of learning yang bisa permanen. Kedua, adalah kesehatan mental dan psikis yang juga bisa permanen di anak-anak kita," kata Nadiem, saat melakukan kunjungan kerja ke Solo, Senin (13/9)

Ia mengatakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang terlalu lama bisa berdampak pada kurangnya interaksi anak-anak terhadap lingkungan sekitar.

Nadiem mengemukakan, merasa kesepian, mengalami berbagai macam konflik di dalam rumah, kemudian menjadi asosial serta berbagai macam permasalahan yang dampaknya bisa permanen, apalagi bagi anak yang sedang berkembang.

Risiko tersebut, harus ditanggapi seluruh pihak, sama pentingnya dengan risiko kesehatan.

Menurut dia, tidak banyak orang melihat risiko generasi berikutnya seperti apa. Itu yang harus diperjuangkan di Kemendikbudristek, yakni hak-hak anak untuk melanjutkan sekolahnya yang sudah jelas tidak optimal melalui PJJ.

Oleh karena itu, ia sangat mendukung pemerintah daerah, terutama yang sudah berstatus Level 1-3, dengan mendorong adanya PTM terbatas, namun tetap harus mengacu pada protokol kesehatan yang dikelola dengan baik.


Bertahap

Sementara itu, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengatakan PTM di wilayahnya dilakukan secara bertahap, sesuai dengan Instruksi Mendagri No. 35/2021, yang telah direvisi menjadi Instruksi Mendagri No 38/2021.

Seusai meninjau vaksinasi di SMK Negeri 5 Kabupaten Jember, beberapa waktu lalu, Khofifah mengaku bersyukur proses pembelajaran tatap muka secara bertahap sudah dapat dilaksanakan di Jatim. Ke depan pihaknya akan melaksanakan pembelajaran gabungan karena ada yang tatap muka dan ada yang masih harus virtual.

Dalam Inmendagri, lanjut dia, boleh dilakukan pembelajaran tatap muka terbatas bagi daerah yang masih dalam status pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Level 3, 2 dan 1.

Gubernur bersyukur karena di Jawa Timur ini yang Level 3 dan 2 tercatat sebanyak 29 kabupaten/kota. Sejak 31 Agustus 2021, di Jawa Timur sudah tidak ada lagi zona merah.

Menurut dia, PTM secara terbatas tetap harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan mengacu pada protokol kesehatan yang ketat, serta mendapat pengawasan dari tim satgas COVID-19 di masing-masing sekolah.

Selain itu, vaksinasi juga diprioritaskan untuk siswa kelas 12 karena sudah akan terhubung dengan dunia usaha, dunia industri, dan dunia kerja, sehingga standar kompetensinya harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar.

Mantan Menteri Sosial itu berharap agar proses vaksinasinya dipercepat, demikian juga peningkatan standar kompetensinya, agar siswa menjadi percaya diri.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021