untuk mengurangi air hujan yang terbuang menjadi air larian yang bisa menjadi air genangan
Yogyakarta (ANTARA) - Pakar klimatologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Emilya Nurjani mendorong pemerintah segera menyiapkan upaya mitigasi struktural dan nonstruktural mengantisipasi bencana hidrometeorologi seperti hujan lebat disertai petir dan angin kencang beberapa hari ke depan.

"Terdapat dua upaya mitigasi yang dapat dilakukan yakni mitigasi struktural dan mitigasi nonstruktural," katanya melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Rabu.

Ia menjelaskan mitigasi struktural merupakan langkah pengurangan risiko bencana melalui rekayasa teknis bangunan tahan bencana.

Sejumlah upaya mitigasi struktural yang bisa diambil menghadapi kerentanan bencana yang mungkin muncul akibat hujan lebat, menurut dia, antara lain menyingkirkan sampah dari selokan, sungai, maupun tubuh airnya untuk meningkatkan volume tangkapan sungai saat hujan.

Selain itu, memperbaiki tanggul, baik tanggul beton maupun tanggul alam agar debit air sungai tidak meluap, memperbaiki pintu air bendung untuk pengaliran ke saluran irigasi, serta memperkuat zona perakaran tanaman di tebing bukit.

"Selain itu juga membangun tebing tembok untuk mengurangi bahaya longsor di lereng-lereng yang berpotensi longsor," ucap Emilya.

Ia mengemukakan perlunya disiapkan mitigasi nonstruktural dengan kebijakan atau peraturan tertentu yang bisa dilakukan dengan sosialisasi kepada masyarakat secara bersama-sama terkait dengan potensi bencana yang mungkin terjadi saat hujan lebat.

Baca juga: BNPB: Sudah disiapkan peringatan dini hadapi bencana hidrometeorologi

Pemerintah juga perlu melakukan pemberdayaan masyarakat sebagai relawan serta menyiapkan regulasi dan peraturan untuk mitigasi dan adaptasi bencana.

"Pemerintah perlu membangun teknologi untuk mitigasi dan adaptasi karena dengan peningkatan kapasitas maka risiko bencana akan berkurang," kata dia.

Bagi masyarakat, Emilya berharap, segera menyiapkan teknologi pemanenan air hujan.

"Masyarakat dapat menerapkan teknologi 'rain water harvesting' atau menampung air hujan yang jatuh di atap rumah lewat talang dan ditampung dalam penampungan air hujan," kata dia.

Air hasil tampungan, ujar dia, bisa dimanfaatkan untuk simpanan air atau dimasukkan ke dalam sumur resapan untuk pengisian air tanah, keperluan mencuci, dan mandi, maupun untuk kolam.

"Langkah tersebut bisa ditempuh untuk mengurangi air hujan yang terbuang menjadi air larian yang bisa menjadi air genangan," kata dia.

Baca juga: Musim hujan datang, awas ancaman bencana hidrometeorologi

Upaya lain yang dapat ditempuh, kata dia, menebang cabang pohon yang sudah tinggi atau memangkas ujung-ujung pohon untuk mengantisipasi bencana akibat angin kencang yang mungkin terjadi saat hujan lebat.

Masyarakat di daerah perdesaan juga bisa membuat sumur resapan bersama (biopori) sehingga tebal air hujan yang ditampung bisa lebih banyak.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat 27 provinsi di Indonesia berpotensi mengalami hujan lebat disertai kilat atau angin kencang selama periode 13-20 September 2021.

Perkiraan itu terjadi usai fenomena Madden Julian Oscillation (MJO), gelombang Rossby Ekuatorial, dan gelombang Kelvin terpantau aktif di wilayah Indonesia hingga sepekan ke depan.

Baca juga: Pakar: Perkuat mitigasi untuk bencana hidrometeorologi
Baca juga: Musim hujan lebih awal, BMKG ingatkan potensi bencana hidrometeorologi

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2021