Jakarta (ANTARA) - Ahli virologi yang juga Guru Besar Universitas Udayana Prof I Gusti Ngurah Kade Mahardika mengatakan 98 persen virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 yang bersirkulasi di dunia adalah varian Delta.

"Sekarang ini 98 persen virus yang bersirkulasi di dunia saat ini adalah varian Delta, sedangkan virus Mu yang sebenarnya lebih dulu lahir dibandingkan virus Delta, yaitu hanya di bawah 1 persen dari virus yang bersirkulasi di dunia. Jadi, persentasenya (varian Mu) sangat rendah," kata Mahardika dalam gelar wicara virtual Waspada Mutasi Virus dengan Protokol Kesehatan di Jakarta, Kamis.

Mahardika menuturkan virus SARS-CoV-2 merupakan virus RNA yang mudah berubah karena memiliki mesin fotokopi gen yang bernama RNA polimerase yang mudah sekali membuat kesalahan atau eror.

Baca juga: Indonesia sudah mampu uji 1.866 genome sequencing per bulan

Jika dibandingkan dengan virus RNA lain seperti HIV dan influenza, virus corona penyebab COVID-19 bersifat lebih stabil yang mana dalam perkembangan di dua tahun belakangan ini, jumlah asam amino pada protein spike virus yang mengalami perubahan hanya sekitar 50-an dibandingkan dengan 1.300 asam amino penyusun spike. Itu menunjukkan persentasenya sangat rendah sehingga perubahan mutasi yang terjadi lebih sedikit.

Perubahan yang terjadi pada varian virus SARS-CoV-2 kemungkinan bisa berkaitan dengan tingkat penularan virus, efektivitas vaksin dan keganasan virus.

Sejauh ini, perubahan atau mutasi yang dialami virus SARS-CoV-2 tidak menyebabkan dampak yang sangat signifikan terhadap efektivitas vaksin COVID-19, sehingga vaksin COVID-19 hingga saat ini masih efektif untuk semua varian virus tersebut.

"Kalau hanya satu ada dua yang berubah tetapi yang lain masih stabil maka efektivitas vaksin masih efektif. Jadi perubahan itu belum menyebabkan varian-varian itu menjadi resisten terhadap vaksin atau dengan kata lain vaksin nampaknya masih efektif terhadap semua varian yang ada di dunia saat ini," kata Mahardika.

Pada varian Delta, perubahan menyebabkan virus lebih mudah menular. Namun, daya tular varian Mu jauh lebih rendah dibandingkan dengan varian Delta.

Baca juga: Bank Dunia sebut varian Delta perlambat ekonomi Asia Timur dan Pasifik

Menurut Mahardika, varian Mu belum menjadi ancaman saat ini karena persentase penyebarannya hanya sekitar 1 persen dari sirkulasi virus yang beredar di dunia, dan hanya 5 persen di Amerika Selatan. Padahal, varian Mu lebih awal muncul dibandingkan dengan varian Delta, namun yang paling dominan sekarang ini adalah varian Delta.

Varian Delta mempunyai kemampuan menular dari satu orang ke orang lain (reproduction number) lebih tinggi beberapa kali lipat dibanding virus SARS-CoV-2 yang pertama kali muncul di Wuhan, China.

Satu orang yang terinfeksi virus awal dari Wuhan bisa menularkan pada 2-3 orang, sedangkan satu orang yang terinfeksi varian Delta bisa menularkan hingga 8-10 orang. Itu berarti varian Delta memiliki daya tular yang tinggi.

Daya tular yang tinggi itu juga berkontribusi pada letupan kasus yang luar biasa seperti yang sebelumnya terjadi di India, dan untuk Indonesia letupan kasus itu disertai dengan letupan jumlah orang meninggal dunia.

"Tetapi sekali lagi belum ada indikasi bahwa perubahan-perubahan ini disertai dengan asosiasi terhadap gejala klinis semakin berat atau semakin ringan dan jenis gejala yang ditimbulkan oleh COVID-19," ujar Mahardika.

Baca juga: Dokter Reisa ajak masyarakat untuk waspadai mutasi virus COVID-19
Baca juga: Pakar: Varian Mu miliki potensi hindari kekebalan tubuh
Baca juga: Kemenkes: Terdapat varian baru COVID-19 yang harus diwaspadai

Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021