Jakarta (ANTARA) - Ide atau gagasan pemindahan ibu kota telah terdengar sejak 3 tahun terakhir dan terus menggema hingga saat ini.

Gagasan tersebut pun berdampak pada antusiasme masyarakat untuk berpindah ke calon ibu kota negara yang baru, yaitu Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, sehingga ditemukan lonjakan penduduk di sana.

Dari keterangan Suyanto, Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kabupaten Penajam Paser Utara yang dibagikan kepada Antara, Kamis (12/8), ditemukan pertambahan penduduk sebanyak 3.695 jiwa di sepanjang 2021.

Akan tetapi, sudahkah gema gagasan dan antusiasme masyarakat itu diperkokoh dengan dasar hukum yang jelas untuk menangkal seluruh dampak negatif, seperti yang paling konkret, yaitu tindakan korupsi?

Nyatanya, gagasan pemindahan ibu kota negara yang pertama kali dicetuskan oleh Presiden Joko Widodo dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2019 lebih dititikberatkan pada pengeksekusian rencana itu. Salah satu contohnya, Bappenas yang telah merancang master plan dan design pembangunan ibu kota di Penajam, Kalimantan Timur.

Sementara dasar hukum yang juga berperan penting dalam mengantisipasi dampak negatif pengeksekusianya, baru sampai di tahapan diterimanya Surat Presiden terkait RUU Pemindahan Ibu Kota Negara (RUU IKN) oleh DPR di Jakarta, Rabu (29/9).

RUU IKN mengatur sejumlah hal, yaitu visi ibu kota negara, bentuk pengelolaan, dan tahapan-tahapan pembangunannya yang meliputi tahap pemindahan dan pembiayaan.

“Saya pikir hukum dalam konteks pemindahan ibu kota negara harus menjadi landasan atau titik pijak sebagaimana seharusnya proses pemindahan negara itu dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan negatifnya,” tutur Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana dari Melbourne dalam siaran podcast Supremasi Episode 8 yang diunggah di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI, Sabtu.

Baca juga: Bappenas matangkan keterpaduan rencana pemindahan IKN pada 2022

Ketidakrapian hukum
Denny menyampaikan pemindahan ibu kota negara memang melibatkan lintas aspek di dalamnya. Seperti dari aspek politik dan ekonomi, jumlah penduduk yang semakin meningkat ataupun jalanan yang semakin macet membuat daya dukung Jakarta sebagai ibu kota negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan ekonomi semakin menurun.

Akan tetapi, menurutnya, keterlambatan eksekusi RUU IKN menunjukkan ketidakrapian aspek hukum di Indonesia dalam mengantisipasi suatu ide atau gagasan negara.

Ketidakrapian yang dimaksud adalah keterlambatan munculnya dasar hukum. Secara hukum tata negara, hukum yang rapi adalah keberadaan dasarnya yang beriringan dengan perencanaan yang dilakukan.

“Memang tidak jarang terjadi prosedur hukum seperti itu, terlambat atau tidak rapi, apalagi kemudian ada proses-proses politik yang harus dilakukan lewat legislasi, berkaitan dengan perundang-undangan, ataupun proses di parlemen,” jelas Denny.

Namun sayangnya, dalam kebanyakan praktik di Indonesia, proses hukum yang terlambat justru memicu kurangnya antisipasi terhadap segala dampak negatif dari suatu gagasan yang terlebih dahulu dieksekusi, seperti tindak pidana korupsi.

Baca juga: Ahmad Basarah: Rencana pemindahan Ibu Kota Negara harus dipagari PPHN

Bayang-bayang korupsi dan pemindahan kebijakan
Sebenarnya, tidak hanya terkait pemindahan ibu kota negara, segala tindak-tanduk pemerintah Indonesia dalam mengambil suatu gagasan, keputusan, hingga kebijakan memang tidak pernah cukup dengan kemunculan niat baik saja demi memberikan hasil yang baik pula.

Contohnya, pengadaan bantuan sosial COVID-19 yang berujung dengan tindakan korupsi. Bercermin dari kasus tersebut, diharapkan pelaksanaan pemindahan ibu kota negara dilakukan secara transparan dan dapat dipercaya.

Proses pengadaan barang dan jasa, pembangunan gedung, infrastruktur, ataupun berbagai macam alat pendukung merupakan tindakan masif yang rentan menimbulkan peluang tindakan korupsi. Untuk itu, diperlukan upaya pencegahan dari dasar hukum yang jelas dan kuat, sesegera mungkin.

Selain korupsi, rencana pemindahan ibu kota negara yang diusulkan oleh Presiden kut pula menghadirkan kekhawatiran perubahan haluan kebijakan bila nanti masa jabatan beliau selesai.

Dari kondisi yang seperti itu, bisa saja Presiden selanjutnya mengadakan pemindahan haluan kebijakan, seperti yang juga pernah disampaikan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam diskusi Empat Pilar MPR di Jakarta, Rabu (11/03/2020).

Menurut dia, diperlukan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) untuk mengunci kebijakan pemindahan ibu kota negara.

Namun menurut Denny Indrayana, kemungkinan tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Mengambil contoh sederhana dari pemindahan rumah, kepindahan tentu saja tidak bisa dilakukan bila hanya didasari oleh keputusan kepala rumah tangga.

Begitu pula dengan negara, rencana pemindahan ibu kota negara tidak seharusnya menjadi keputusan Presiden saja. Untuk satu keputusan sestrategis itu, bangsa Indonesia harus diajak berpartisipasi, baik dalam melakukan langkah demi langkah pemindahan ibu kota negara ataupun mengawalnya dari segala bentuk dampak negatif, seperti korupsi.

Ketua DPR Puan Maharani pun menjamin keterlibatan suara rakyat dalam pemindahan ibu kota negara.

“RUU IKN nantinya harus bisa dilengkapi dengan peraturan turunannya yang lebih komprehensif yang pembicaraannya akan melibatkan banyak pihak. Bukan hanya pemerintah dan DPR, tapi juga semua elemen bangsa dalam memberi masukan,” jelasnya dalam konferensi pers, Jakarta, Rabu (29/9).

Setiap ide baik, seperti pemindahan ibu kota negara, sudah seharusnya tidak hanya melibatkan kepentingan penguasa ataupun individu tertentu hingga memunculkan dampak negatif seperti korupsi, tetapi juga ada peran dari segenap bangsa Indonesia. Kemudian, dasar hukum memainkan peran sebagai pengantisipasi dampak negatif dan disempurnakan oleh dukungan masyarakat.

Baca juga: Pemindahan ibu kota negara sebagai langkah revolusioner Jokowi

Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021