Jakarta (ANTARA) - Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Marsudi Syuhud, menegaskan sikap moderat sangat penting dalam membentuk "Ummatan Wasathan" pada era digital yang bercirikan penggunaan media sosial seperti saat ini.

Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Sabtu, dia mengatakan, jika tidak ada sikap moderat maka jagad medsos akan dipenuhi oleh konten-konten berisi kebohongan atau hoaks, kebencian, dan hasutan. Hal tersebut, kata dia, sangat merusak "Ummatan Wasathan".

Hal itu dikatakan Marsudi dalam Webinar Moya Institute bertajuk "Umat Islam Indonesia: Ummatan Wasathan", Jumat (15/10).

"Bahwa yang dituntut ketika era medsos ini adalah "tawasutiyah" atau moderat karena konten omongan itu jangan sampai dishare ke jagad medsos, apabila belum tahu kebenarannya," kata dia.

Baca juga: Gus Dur-Hindu Bali, FPI-Polri, dan radikalisasi digital 2021

Ia mengatakan dalam menghadapi penyebaran konten yang merusak "Ummatan Wasathan" di media sosial, masyarakat terutama umat Islam harus ditanamkan sikap untuk tidak menebarkan kabar bohong atau ujaran kebencian.

Apalagi, lanjut dia, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan aturan terkait hal tersebut yang tertuang dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Oleh karena itu, kata dia, jika ada anggota atau kelompok masyarakat membagikan konten yang tidak sesuai fakta maka hal itu melanggar ajaran agama.

Baca juga: Telaah - Jurnalis versus COVID-19

"Kalau mau berdialog diskusi mengangkat suatu topik maka harus berdasarkan data dan fakta. Kalau tidak, ya itu hanya hoaks. Hoaks itu bohong dan bohong itu dilarang Tuhan," katanya.

Dalam webinar yang sama, Rektor Universitas Islam International Indonesia (UIII), Komaruddin Hidayat, menyatakan sebelum menjadi Nabi, Rasulullah SAW sudah memiliki kualitas kemanusiaan yang sempurna.

Nabi Muhammad, ujar Komaruddin, sudah diberi gelar Al-Amin yang artinya manusia yang bisa dipercaya. Hal itu dikarenakan, Nabi Muhammad sudah menunjukkan sikap yang "wasathiyah" atau moderat.

Baca juga: Resensi - Buku "KontraNarasi Khilafers" jadi kado Hari Santri 2020

Hal itu, kata dia, mirip dengan beberapa masyarakat atau peradaban di dunia ini yang belum mengenal Islam atau agama tetapi peradabannya sudah bagus. Mereka antikorupsi, mencinta ilmu, dan melindungi kemanusiaan.

"Sebaliknya, ada masyarakat yang sangat bersemangat bicara soal agama tetapi kualitas peradaban dan kemanusiaannya masih kurang, jadi tak nyambung antara retorika agamanya dengan kualitas peradabannya. Yang bagus adalah ketika kualitas peradaban dan kemanusiaannya sudah bagus ditambah dengan wahyu Islam. Inilah yang makin mendekati "Ummatan Wasathan," kata dia.

Sementara itu, Imam Besar di Islamic Center of New York, Muhammad Shamsi Ali, menyatakan di dunia barat, studi tentang Islam kebanyakan dikemas dengan bungkus "Studi Timur Tengah".

Baca juga: Indonesia ancam perusahaan medsos untuk tutup akun radikal

Jadi, lanjut dia, ada pemahaman di kalangan Barat bahwa Islam adalah Timur Tengah. Menurut Shamsi Ali, hal itu harus diluruskan.

"Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia harus bisa menunjukkan pada dunia, khususnya dunia Barat bahwa Islam itu bukan Timur Tengah semata, Islam itu universal. Bahkan, saya membayangkan suatu saat, bila orang di dunia ini mendengar nama Islam maka pikiran mereka akan tertuju pada Indonesia. Di sini lah pentingnya perwujudan "Ummatan Wasathan" dalam masyarakat Indonesia," katanya.

Dalam kesempatan sama, Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto, selaku pemantik diskusi menyatakan sejatinya umat Islam Indonesia sudah memiliki banyak ciri yang menunjukkan "Ummatan Wasathan".

"Kedepannya, tantangan bagi Umat Islam Indonesia untuk dapat mengejawantahkan prinsip-prinsip "Ummatan Wasathan" itu dalam menghadapi tantangan zaman, khususnya di masa pandemi yang belum berakhir ini," kata dia.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021