Dia justru melihat lurus ke depan, ke arah podium tepatnya, dimana Bupati Karawang ,Provinsi Jawa Barat, Ade Swara memberikan pidato singkat dan kemudian diikuti oleh Duta Besar Belanda untuk Indonesia ,Tjeerd de Zwaan. Lalu matanya pun berkaca-kaca.
"Saya tengah mengandung tiga bulan saat melihat suami ditembak oleh pasukan Belanda," Wanti (85 tahun), si ibu tua itu, mulai bercerita.
"Awalnya semua laki-laki diperintahkan keluar dari rumah, lalu disuruh berbaris. Terus kepala mereka ditembak dengan senapan pasukan Belanda, hanya wanita dan anak-anak saja yang lolos," ujarnya sambil menyeka air mata dengan kain lusuh yang dipegangnya.
Wanti bercerita setelah penembakan yang berlangsung pagi hari tersebut, dirinya bersama ibu-ibu lain mulai mencari mayat suami masing-masing. Berbekal peralatan seadanya, warga desa yang tersisa mulai menggali tanah untuk menguburkan jasad keluarga mereka. Karena menggunakan alat sederhana dan lubang yang digali juga tidak dalam, maka bau mayat tercium hingga berhari-hari di desa itu.
Wanti adalah satu dari enam orang janda asal Desa Rawagede yang menuntut pemerintah Belanda atas peristiwa pembantaian yang terjadi pada tanggal 9 Desember 1947 itu atau saat agresi militer Belanda ke Indonesia setelah nusantara menyatakan merdeka tahun 1945.
Dalam operasinya di daerah Karawang, tentara Belanda sebenarnya memburu Kapten Lukas Kustario, Komandan Kompi Siliwangi yang bersama pasukannya dikenal lihai menyerang tentara Belanda. Lukas diduga bersembunyi di Kampung Rawagede.
Diceritakan, karena tidak menemukan Kapten Lukas, maka tentara Belanda pun memerintahkan semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja belasan tahun di kampung itu berdiri berjejer dan memberondong mereka dengan senapan. Diperkirakan 431 orang meninggal akibat penembakan tersebut.
Bertahun-tahun kemudian, seorang veteran tentara Belanda yang tidak mau disebutkan namanya dari Desa Wamel, sebuah desa di Provinsi Gerderland, Belanda Timur, mengirim surat kepada korban tragedi Rawagede yang isinya sebagai berikut:
"Dari arah Rawa Gedeh tentara Belanda ditembaki. Maka diputuskanlah untuk menghajar desa ini untuk dijadikan pelajaran bagi desa-desa lain.Saat malam hari Rawa Gedeh dikepung. Mereka yang mencoba meninggalkan desa, dibunuh tanpa bunyi (diserang, ditekan ke dalam air sampai tenggelam; kepala mereka dihantam dengan popor senjata dll)Jam setengah enam pagi, ketika mulai siang, desa ditembaki dengan mortir. Pria, wanita dan anak-anak yang mau melarikan diri dinyatakan patut dibunuh: semuanya ditembak mati. Setelah desa dibakar, tentara Belanda menduduki wilayah itu. Penduduk desa yang tersisa lalu dikumpulkan, jongkok, dengan tangan melipat di belakang leher. Hanya sedikit yang tersisa. Belanda menganggap Rawa Gedeh telah menerima pelajarannya.Semua lelaki ditembak mati oleh pasukan yang dinamai Angkatan Darat Kerajaan. Semua perempuan ditembak mati, padahal Belanda negara demokratis. Semua anak ditembak mati".
Belanda Minta Maaf
Sejak tahun 2006, sebuah kelompok yang menamakan dirinya Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) bersama para janda, dan saksi korban pembantaian di Rawagede menuntut permintaan maaf dan kompensasi dari Pemerintah Belanda. Liesbeth Zegveld dari biro hukum Bohler menjadi pengacara mereka.
Pada 14 September 2011, Pengadilan Den Haag menyatakan Pemerintah Belanda bersalah, dan harus bertanggung jawab. Pemerintah Belanda diperintahkan membayar kompensasi bagi korban dan keluarganya. Menurut pengacara korban, jumlah kompensasi per orang sebesar 20 ribu euro atau sekitar Rp240 juta.
Akhirnya, saat peringatan 64 tahun tragedi Rawagede pada Jumat (9 Desember 2011), Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Tjeerd de Zwaan mengucapkan permintaan maaf atas nama pemerintahnya kepada korban tragedi Rawagede.
"Hari ini kita mengenang anggota keluarga Desa Balongsari yang tewas 64 tahun lalu saat agresi militer Belanda. Saya atas nama Pemerintah Belanda memohon maaf atas tragedi tersebut," kata Duta Besar Belanda untuk Indonesia ,Tjeerd de Zwaan saat mengikuti acara peringatan 64 tahun Tragedi Pembantaian Rawagede di Desa Balongsari, Jumat.
Zwaan mengatakan peristiwa Rawagede merupakan hal yang menyedihkan dan sebuah contoh mencolok tentang bagaimana hubungan antara Indonesia dan Belanda pada masa itu (tahun 1947) berjalan ke arah yang keliru.
"Anda masing-masing tentu mempunyai cara tersendiri untuk mengatasi kenangan pahit tragedi Rawagede. Saya berharap bahwa dengan bercermin bersama pada peristiwa itu, kita bisa melangkah bersama ke masa depan dan bekerja sama dengan erat dan produktif," kata Zwaan.
Pintu Menuju Kasus Lain
Ketua Umum Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) Batara R Hutagalung mengatakan selain tragedi pembantaian di desa Rawagede (Jawa Barat) yang menewaskan 431 orang warga sipil, masih banyak kasus pembantaian lain yang dilakukan tentara Belanda selama agresi militernya di Indonesia tahun 1945-1950.
"Di Provinsi Sulawesi Selatan, keganasan tentara Belanda dibawah pimpinan Raymond "Turki" Westerling yang dilakukan pada bulan Desember 1946 menelan korban 40.000 jiwa," kata Batara.
Batara mengatakan perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya yang membantai penduduk Desa Galung Lombok dan desa sekitarnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran HAM karena sebenarnya aksi terornya yang dinamakan "contra-guerilla", memperoleh "licence to kill" (lisensi untuk membunuh) dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. van Mook karena khawatir dengan perlawanan masyarakatlokal terhadap pendudukan tentara Belanda.
"Jadi yang sebenarnya bertanggung jawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda," katanya.
Selain penyelidikan atas kasus pembantaian di Sulawesi Selatan, Batara juga menyerukan agar pemerintah Belanda secara de jure mengakui tanggal resmi kemerdekaan Republik Indonesia yakni 17 Agustus 1945.
"Dari sudut sejarah, yang diakui oleh pemerintah Belanda yaitu Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949. Itu sudah dibubarkan tanggal 16 Agustus tahun 1950 dan tanggal 17 Agustus tahun 1950 dinyatakan kembali berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekarang pemerintah Belanda mempunyai hubungan diplomatik dengan Republik Indonesia. Jadi kalau hal ini tidak diakui juga, saya pikir ini sudah sangat menyalahi tata krama diplomasi," katanya.
Menurut dia, Belanda mungkin mengalami dilema untuk mengakui tanggal kemerdekaan Indonesia karena jika hal tersebut terjadi, maka berarti masa agresi militer negara tersebut di nusantara yang terjadi antara tahun 1945 hingga 1950 merupakan aksi penyerangan atas negara yang berdaulat.
"Indonesia bisa saja menuntut Belanda atas kejahatan perang selama masa lima tahun tersebut dan pihak yang bertanggung jawab atas semua kejahatan itu bisa diajukan ke Mahkamah Internasional," katanya.
(A051/A011)
Oleh Amie Fenia Arimbi
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011
http://www.wartatv.com/index.php?view=video
Sanak saudara korban pembantaian Rawagede 9 Desember 1947 dipaksa membagi uang ganti rugi yang diberikan negara Belanda dengan para penduduk desa. Warga desa yang kini bernama Balongsari merasa berhak atas 50 persen uang kompensasi itu.
Kepada Radio Nederland, Jeffry Pondaag, Ketua Komisi Utang Kehormatan Belanda (K.U.K.B) mengatakan, Jumat pekan lalu telah mengecek di bank apakah uang kompensasi sudah masuk atau tidak. “Memang saat itu dana sudah masuk. Tapi informasi yang kami terima Rabunya, mereka sudah harus cap jempol untuk menyerahkan 50 persen itu.”
Diteror
Pondaag yang hari ini akan kembali ke Belanda dari kunjungan ke Indonesia tidak setuju dengan kejadian tersebut. K.U.K.B sudah berjuang keras mendapatkan ganti rugi untuk sanak saudara korban Rawagede. “Tapi bagaimana kalau mereka dipaksa secara teror? Rumahnya mau dibakar kalau mereka tidak mau kasih. Para janda ini kan sudah berusia lanjut.”
Pihak K.U.K.B sudah berusaha mengatasi masalah ini dengan mendatangi bupati dan wakil bupati Balongsari, Komisi III DPR, Komnas HAM serta Deplu. Namun tidak ada tanggapan.
Silaturahmi
Sementara warga desa menyatakan telah mendatangi para janda dan, melalui silaturahmi, meminta mereka jatah dari santunan yang diberikan Negara Belanda. Mereka menganggap para janda sudah menyetujui permintaan itu.
“Tapi,” demikian Pondaag, “kalau silaturahmi dengan cara paksa, itu artinya bukan dengan sukarela mereka memberikan 50 persen itu.” Menurut ketua K.U.K.B sayang sekali aparat Indonesia juga tidak melindungi para penerima kompensasi ini.
Bukti
Meskipun demikian Jeffry Pondaag akan terus berjuang. “Kami sudah bikin fotokopi keputusan pengadilan dalam bahasa Inggris. Di situ sudah tercatat sembilan namanya. Tidak ada yang lain yang berhak, selain sembilan orang itu. Itu sebagai bukti untuk mereka.”
Pondaag berharap aparat Indonesia mau membela dan melindungi korban dan masalah ini akan diselesaikan secara hukum.
Menteri Luar Negeri Belanda Uri Rosenthal Kamis kemarin mengatakan tidak bisa berbuat apa-apa, karena menurutnya kasus ini berlangsung di Indonesia.
Berita lain :
Tifa Asrianti, The Jakarta Post, Jakarta | Thu, 12/22/2011 8:48 AM
A | A | A |
Lasmi, 90, one of nine surviving widows of the Rawagede massacre, made a wish that she could buy her own house with money from compensation paid by the Dutch government.
She has been living in a ramshackle hut with her daughter-in-law’s brother for as long as she can remember, and the only thing she could think about when told she would receive compensation was getting a new home.
But now that hope has gone, dashed by local officials and her neighbors joining together to force her to give up half of the money for what they refer to as local community development.
Local residents in Balongsari village, Rawagede, Karawang regency, West Java, aided by local officials, have exerted ongoing pressure to force the relatives of Rawagede massacre victims to give up 50 percent of their compensation.
“I cried when they told me I must give away 50 percent of the money. But I had to relent,” she told The Jakarta Post on Wedensday.
Milem, Lasmi’s daughter-in-law, said her family had been terrorized by some of their neighbors.
She said every time she got a phone call, the neighbors would ask whether the call had anything to do with the disbursement of the compensation scheme.
“Now she [Lasmi] only has around Rp 100 million left. But relatives of her deceased husband also hound her for money. Everybody wants to get their share,” she said.
Balongsari village head Mamat denied that widows and relatives were being intimidated to give up their money.
He said the families had agreed to share their lot.
“Alhamdullillah [praise be to Allah], they finally understand that the money is not only for them as individuals, but also for the other Rawagede victims,” he said.
Mamat said he had received money from five widows and was expecting others to contribute their funds.
He promised that the money would be distributed evenly among relatives of the 171 Rawagede victims.
Mamat said he too would receive some of the money, claiming that his grandmother was also a victim in the Rawagede Massacre.
The Post later investigated Mamat’s roots in the village and found that his grandmother, when first married, adopted an orphan, who was killed in the massacre. After the massacre, his grandmother remarried and Mamat descended from that subsequent bloodline.
Nine surviving widows and relatives of victims from the Rawagede Massacre filed a case with the International Criminal Court at The Hague in the Netherlands, which ruled on Sept. 14, 2011, that the Dutch government was guilty and responsible for the massacre, and was ordered to pay compensation of 20,000 Euros (US$26,692) to each of the nine surviving relatives.
Iwan Lubis, a representative of the nine surviving family members said that regular Rawagede residents could not make any claims on the compensation.
“Most of those who claim to be descendants of victims were actually born from marriages after the massacre, so they have no rights to receive compensation,” he said.
Iwan said he had filed a report to the National Commission on Human Rights, asking it to explain to Rawagede’s residents about who are the rightful claimants to the money.
Suparta, grandson-in-law of Taswi, another Rawagede widow, said social jealousy had prevailed long before the Hague ruling.
He said prior to receiving the compensation money from the Dutch government, Taswi had also received funds from several other sources, which had triggered jealousy from local neighbors.
“I think there should be a change to the Rawagede compensation scheme in the future. Instead of cash, the Dutch government should develop the infrastructure here, such as schools or health centers,” he said.
The deputy head of the press and cultural affairs division at the Netherlands Embassy in Jakarta, Dorine C. Wytema, said the embassy had yet to receive any information on the issue.
“I don’t know anything about the agreement on the compensation money but I believe the lawyer has arranged everything,” she said.
Demikian kami sampaikan semoga berkenan…
Salam…