Surabaya, (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Eksekutif Daerah Jawa Timur menilai wilayah Jatim kaya dengan potensi minyak dan gas bumi (migas), namun di sisi lain juga kaya bencana dari pertambangan migas tersebut. Hal itu disampaikan Ketua Divisi Informasi, Komunikasi dan Dokumentasi Walhi Jatim Duhita Swastihayu di Surabaya, Senin (1/8) menanggapi terjadi kebakaran di sumur minyak Sukowati, Bojonegoro, yang dikelola JOB Pertamina-PetroChina beberapa hari lalu. "Kecelakaan industri migas di Indonesia, terutama di Jatim bukan barang baru, karena peristiwa itu pernah beberapa terjadi dalam beberapa tahun terakhir," katanya. Menurut Duhita, kasus semburan gas disertai lumpur panas di pengeboran milik Lapindo Brantas Inc di Sidoarjo yang sudah berlangsung dua bulan lebih belum berhasil ditangani, ternyata kecelakaan di lokasi eksplorasi dan eksploitasi migas kembali terjadi di Bojonegoro. Bahkan dalam peristiwa di Bojonegoro, ribuan warga juga terpaksa mengungsi ke lokasi aman, akibat ancaman bahaya yang muncul dari lokasi kebakaran di sumur minyak Sukowati. "Yang patut disesalkan, pihak PetroChina East Java justru meniru modus cuci tangan yang dilakukan Lapindo Brantas dengan mengaku tidak tahu menahu penyebab terjadinya kebakaran tersebut. Ini kan konyol," tegasnya. Duhita mengungkapkan, Jatim saat ini menopang sekitar 40 persen produksi migas nasional dengan keberadaan 28 blok migas dalam tahap eksplorasi dan tersebar di berbagai daerah, seperti Sidoarjo, Bojonegoro, Madura dan Gresik. "Klaim pemerintah pusat bahwa migas adalah tulang punggung perekonomian nasional dan daerah juga patut dipertanyakan, karena fakta di lapangan tidak demikian," tegasnya. Ia mencontohkan Kabupaten Sidoarjo yang ketempatan 43 dari 49 sumur migas milik Lapindo Brantas, selama ini tidak pernah menerima sepeser pun pemasukan atau kontribusi dari penambangan tersebut. Dalam konsep dana bagi hasil gas alam yang disusun Ditjen Lembaga Keuangan Departemen Keuangan untuk Kabupaten Sidoarjo pada tahun 2004 menyebutkan, pendapatan kotor yang seharusnya bisa diperoleh Sidoarjo sekitar Rp527,919 miliar. Namun karena ada pembebanan biaya (cost recovery), FTP (Transfer Gas Pertama) oleh KPS (kontrak Production Sharing), BP Migas dan pemerintah pusat mencapai angka sama, maka pendapatan bersih Kabupaten Sidoarjo dari sektor migas sama dengan nol. "Rupanya klaim tulang punggung perekomian tersebut hanya sebatas lelucon pemerintah dengan para pemegang saham blok migas, karena tidak ada sepeser pun yang didapat masyarakat Sidoarjo sebagai sumber pembiayaan kepentingan publik," ujar Duhita. Ia menambahkan seharusnya melalui pendapatan daerah, pembangunan yang memberikan dampak kesejahteraan dan jaminan keselamatan bagi rakyat dapat dilaksanakan. Terkait kecelakaan di dua lokasi penambangan tersebut, Duhita menuntut adanya proses hukum yang adil dan transparan terhadap Lapindo Brantas Inc dan JOB Pertamina-Petrochina East Java, serta mencabut ijin KPS kedua perusahaan tersebut. Selain itu, pemerintah harus melaksanakan pengkajian ulang terhadap peraturan yang ada untuk melakukan sinkronisasi kebijakan antar sektor dalam konteks pertambangan.

Copyright © ANTARA 2006