Jakarta (ANTARA News) - Organisasi pers Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mengecam tindak kekerasan terhadap wartawan yang terjadi di berbagai daerah dan meminta pemerintah menjamin kebebasan pers untuk melakukan kegiatan jurnalistik. Ketua AJI, Heru Hendratmoko kepada ANTARA di Jakarta, Senin, mengatakan kekerasan pada wartawan sangat memprihatinkan karena pelaku kekerasan tidak menghormati profesi wartawan dalam menjalakan tugas jurnalistik. "Wartawan dalam menjalankan profesi dilindungi Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan siapapun yang menghalangi pekerjaan wartawan dapat diancam hukuman penjara dua tahun atau denda Rp500 juta," katanya. Heru mengatakan kekerasan pada wartawan seringkali dilakukan oknum aparat pemerintah, sipil, militer, organisasi massa, kelompok masyarakat, dan individu. "Mereka cenderung main hakim sendiri ketika ada pemberitaan yang menyudutkan atau merugikan mereka, padahal ada dewan pers yang menerima pengaduan bila ada berita yang dianggap tidak berimbang," katanya. Beberapa contoh kasus kekerasan terhadap wartawan diantaranya kasus pemukulan dua wartawan/kameramen TV swasta, Bambang Pramono (RCTI) dan Faindarnoko (Antv) oleh satpam Lapindo Brantas saat meliput kedatangan Menteri ESDM (1/10). Kasus lain adalah pemukulan tiga orang wartawan yakni Jusuf Ahmad (fotografer Harian Tribun Timur, Makassar), Ana Rusli (koresponden Antv) dan Djaya (korepsonden RCTI) oleh Barisan Pengamanan dari Penegakan Syariat Islam (BPPSI) Sulawesi Selatan saat meliput kedataangan Abu Bakar Ba`asyir (20/9). Sebelumnya, kasus kekerasan wartawan yang menyebabkan kematian menimpa wartawan freelance Tabloid Delta Pos, Herliyanto (40), di hutan jati desa Tarokan Kecamatan Banyuanyar, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur (29/4). Secara terpisah, Ketua PWI Pusat, Tarman Azzam mengatakan pemahaman masyarakat terhadap kebebasan pers masih minim sehingga pemerintah seharusnya lebih gencar melakukan sosialisasi terutama tentang UU Pers, fungsi Dewan Pers, pemahaman profesi wartawan, dan kebebasan masyarakat memperoleh informasi. "Selama ini organisasi pers telah melakukan sosialisasi kepada aparat militer dan aparat sipil. Sayangnya sosialisasi itu hanya dipahami pada tingkatan pimpinan saja sehingga aparat pada tingkatan bawah yang tidak memahami kebebasan pers ketika di liputan di lapangan aparat sering terjadi benturan dengan wartawan," katanya. Koordinator Divisi Advokasi AJI, Eko Maryadi mengatakan pada 2000-2006 sekitar 30 kasus kekerasan terhadap wartawan mendapat perhatian dan pendampingan pada wartawan yang dilakukan AJI. "Kasus kekerasan itu terjadi di Jakarta, Surabaya, Malang, Probolinggo, Kalimantan, dan berbagai daerah lain. Beberapa kasus besar yang menjadi perhatian adalah kasus penyerbuan kantor koran harian Indopos oleh Herkules dan penyerbuan kantor majalah Tempo. Berlajar dari kasus kekerasan pada wartawan yang seringkali terjadi, AJI dan PWI berharap pemerintah lebih serius dalam memberi jaminan penegakan kebebasan pers di Indonesia.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006