Jakarta, 26/5 (ANTARA) -- Salah satu poin penting dalam kebijakan kelautan Indonesia untuk pemanfaatan potensi kelautan adalah Ocean Governance Policy. Kebijakan tata kelola kelautan (Ocean Governance Policy) akan menciptakan sistem tata kelola kelautan nasional yang komprehensif, terintegrasi, efektif, dan efisien. Kebijakan tata kelola kelautan tersebut disusun guna mewujudkan negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasis kepentingan nasional. Demikian ditegaskan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C. Sutardjo, di Jakarta, Senin (26/5).

Menurut Sharif, wilayah laut nasional mempunyai potensi keanekaragaman, kekayaan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang sangat besar. Namun demikian potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal dan terpadu. Untuk itu pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyusun sistem tata kelola laut nasional. Apalagi, wilayah perairan laut nasional merupakan wilayah open access dan ada berbagai stakeholders dengan kepentingan yang berbeda sehingga rawan konflik. Di sini, pentingnya menyiapkan landasan bagi pemanfaatan ruang kelautan dalam menserasikan berbagai kegiatan baik antar sektor maupun antar wilayah. "Diperlukan strategi pemanfaatan ruang perairan yang komprehensif dan terpadu agar pemanfaatan sumberdaya dapat optimal dan lestari." tandasnya.

Sharif menjelaskan, ada beberapa  tujuan disusunnya penataan ruang kelautan nasional. Di antaranya, mempersiapkan dukungan bagi pengembangan kegiatan SDA pesisir dan laut serta fungsi perlindungan lingkungan. Kedua, mempersiapkan wilayah pesisir dan laut untuk berperan dalam perkembangan global yang memberikan manfaat sebesar besarnya bagi kepentingan nasional. Ketiga, membantu mengurangi kesenjangan perkembangan antar bagian wilayah nasional sesuai potensi dan daya dukung lingkungan serta membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat marjinal diwilayah pesisir dan pulau - pulau kecil. Tujuan lain, memperkuat akses antar bagian wilayah nasional sebagai negara kesatuan serta memperkuat kesatuan wilayah nasional melalui kawasan perbatasan dengan negara lain. "Penataan ruang laut juga dapat mempertahankan dan meningkatan kelestarian lingkungan pesisir dan laut. Termasuk memperbaiki dan merehabilitasi kerusakan dan penurunan kualitan lingkungan di wilayah pesisir dan laut," jelasnya.

Sharif menegaskan, hakekat tata ruang adalah kesepakatan. Untuk itu perlu disepakati rencana tata ruang yang terpadu ditingkat nasional, propinsi dan  kabupaten / kota. Termasuk kawasan pulau sebagai wujud pelaksanaan rencana tata ruang laut. Untuk menyusunnya, diperlukan dukungan peraturan perundangan yang akan melegalisasi tata ruang serta diperlukan dukungan antar sektor antar wilayah dalam mewujudkan keserasian antar kegiatan di wilayah perairan. Tidak terkecuali, dukungan serta peran serta masyarakat, swasta dan lembaga terkait terutama dalam penyedian infrastruktur, teknologi, SDM dan jaringan pamasaraan. "Sinkronisasi tata ruang daratan dan lautan sangat penting, sehingga ada penyelarasan dan tidak tumpang tindih," tegasnya.

Dalam rangka mengkampanyekan visi negara kepulauan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengadakan serangkaian kegiatan roadshow Focus Group Discussion (FGD) ke beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Hari ini, Senin (26/5) FGD dilakukan di Universitas Hasanudin (UNHAS) Makasar yang membahas tentang Strategi dan Kebijakan Tata Kelola Kelautan.


Zonasi Laut

Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Sudirman Saad pada kegiatan roadshow Focus Group Discussion (FGD) tentang Strategi dan Kebijakan Tata Kelola Kelautan, di UNHAS Makassar (26/5) menjelaskan, ditetapkannya UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil, memberi kewenangan Pemerintah untuk menetapkan aturan penyusunan Rencana Zonasi.  Untuk itu, setiap Pemerintah Daerah wajib menyusun Rencana Zonasi serta menetapkannya dengan Peraturan Daerah (Perda).  Rencana Zonasi merupakan instrumen penataan ruang yang menjadi dasar dalam pemberian ijin pemanfaatan ruang di perairan pesisir.  Rencana Zonasi menjadi alat kontrol untuk keseimbangan pemanfaatan, perlindungan pelestarian, dan kesejahteraan masyarakat sekaligus berfungsi  memberikan kepastian dan perlindungan hukum dalam pemanfaatan perairan pesisir.  Rencana Zonasi memungkinkan untuk menata perairan wilayah pesisir agar tidak terjadi konflik dalam penggunaannya, di mana semua ruang dialokasikan pemanfaatannya secara transparan dan ilmiah sesuai dengan kelayakan dan kompatibilitas. Rencana Zonasi juga memastikan adanya perlindungan, pelestarian, pemanfaatan, perbaikan, dan pengkayaan sumber daya pesisir beserta ekosistemnya secara berkelanjutan. "Rencana Zonasi juga mengakomodasikan kepentingan perlindungan wilayah masyarakat hukum adat di perairan  pesisir yang sudah ada dan berlaku secara turun temurun," jelasnya.

Penetapan Zonasi, menurun Sudirman mempunyai dampak positif, baik ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Tiongkok bisa menjadi contoh keberhasilan dalam menata wilayah pesisir. Negeri tirai bambu ini telah menyelesaikan seluruh tata ruang laut (Marine Functional Zoning) baik tingkat nasional, provinsi maupun tingkat Kabupaten tahun 2002 dan ditinjau kembali pada tahun 2011. Dari sisi Ekonomi, pemerintah pusat dan daerah pada 2012, memperoleh pendapatan atas lisensi perairan laut sebesar 9,68 miliar Yuan. Dari jumlah itu, 2,97 miliar Yuan masuk ke kas pusat dan 6,71 miliar Yuan mengalir ke kas daerah. "Contoh menarik lain adalah Norwegia, Tata ruang laut diatur alokasi ruang untuk perikanan tangkap, perikanan budidaya, tambang minyak dan gas bumi, alur pelayaran dan konservasi sehingga harmonis dan bersinergi serta tidak saling mengganggu," ujarnya.

Sudirman menegaskan, penetapan Zonasi wilayah pesisir merupakan bentuk tanggungjawab pemerintah untuk melindungi dan menciptakan keadilan di antara golongan masyarakat dalam mengakses sumberdaya di wilayah pesisir. Apalagi, perairan pesisir dan laut berlaku rejim "open acces". Praktiknya banyak terjadi permasalahan dan konflik kepentingan dalam pemanfaatannya wilayah pesisir. Bahkan, terjadi marginalisasi masyarakat pesisir, serta timbulnya dampak kerusakan terhadap lingkungan pesisir.  "Rejim open access tersebut, masyarakat nelayan tradisional dan masyarakat adat merupakan golongan masyarakat pesisir yang relatif rentan/lemah dalam berkompetisi untuk mengakses sumberdaya  pesisir dan laut," tandasnya.

Dalam penyusunan zonasi, tambah Sudirman, diperlukan akselerasi secara tepat dan cermat untuk mengatasi kendala - kendala utamanya seperti keterbatasan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia, keterbatasan penganggaran, kendala - kendala teknis, serta masih kurangnya sosialisasi. Dukungan dan kerjasama dari semua pihak baik di Pusat maupun Daerah sangat diperlukan. Termasuk, dukungan lintas sektor dari BKPRN (Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional), Bappeda dan Dinas Kelautan Perikanan, serta SKPD terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir serta antara Kelompok Kerja dengan BKPRD ."Tentunya juga tidak terlepas perlunya dukungan DPRD dalam pengalokasian anggaran untuk mengakselerasi  Rencana Tata Ruang Wilayah atau RTRW dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil atauRZWP3K," tutupnya.

Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Anang Noegroho, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (HP. 0811806244)



Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2014