Jakarta (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dalam jumpa pers, di Jakarta, Rabu, mengingatkan bahwa kondisi geografis Indonesia membuat tingkat kerawanan bencana mencapai 83 persen dari total wilayah di Tanah Air. Tingkat kerawanan itu didapati Walhi dengan mengambil dasar resiko timbulnya bencana akibat pergeseran lempeng, arah angin atau badai, dan rentetan gunung berapi yang juga terkenal dengan istilah "ring of fire". "Dengan banyaknya wilayah yang rawan bencana, riset aksi Walhi bidang pengelolaan resiko bencana pada tahun 2006 memperkirakan tingkat kerentanan penduduk terkena bencana adalah sekitar 98 persen," kata Sofyan, salah satu penggiat di Walhi. Menurut dia, bencana demi bencana yang datang silih berganti sebanyak 325 kali di nyaris seluruh wilayah Indonesia terjadi selama tahun 2006 saja. "Berbagai bencana itu telah merenggut korban setidaknya 6.000 orang tewas dan 4 juta lainnya berstatus pengungsi. Selama bulan Desember saja, bencana banjir dan tanah longsor menyebabkan 25 ribu keluarga kehilangan tempat tinggal dan 80 ribu orang mengungsi," kata dia. Walhi menilai, kondisi Indonesia dengan tingkat kerawanan yang mencapai 83 persen adalah fakta, sementara ketidak-siapan warga menghadapi ancaman bencana adalah realitas yang tidak dapat dibantah. Sayangnya, fakta dan realitas tersebut tidak pernah ditempatkan sebagai landasan membuat berbagai kebijakan pemerintah, untuk setidaknya secara bersungguh-sungguh dan radikal mereduksi resiko serta dampak bencana alam sehingga jatuhnya korban jiwa dan harta benda masyarakat bisa diminimalisir. "Bencana ekologis yang terjadi adalah bukti kegagalan pemerintah mengemban mandat negara Indonesia, yaitu kewajiban melindungi dan menyelamatkan warga negara dari ancaman bencana," tambah Sofyan. Titik utama kelemahan pemerintah, masih menurut dia, terletak di kebijakan, sistem, kelembagaan, serta sumber daya manusia yang tidak pernah benar-benar disiapkan untuk menghadapi ancaman bencana. "Negara tidak pernah benar-benar belajar dari bencana di Aceh dan Yogya, penanganan tetap saja lambat dan sering kali kalah dengan bantuan dari lembaga-lembaga non-pemerintah," katanya.(*)

Copyright © ANTARA 2006