Menciptakan sejarah adalah tantangan terbesar bagi seorang anak supir bis imigran asal Pakistan di Kota London, Inggris, seiring kompetisi politik pemilihan wali kota sudah menunggu di depan mata.

Pemilu yang akan digelar pekan depan, tepatnya 5 Mei 2016 akan menentukan tak hanya siapa yang menjadi orang nomor satu di London, tapi juga mematok sejarah baru di mana seorang Muslim akan bisa memimpin kota besar di negeri Barat untuk pertama kalinya.

Adalah Sadiq Khan (45), pria kelahiran Tooting, di kawasan London bagian selatan. Dikutip dari laman resminya www.sadiq.london, ia menjelaskan keluarganya pindah ke London dari Pakistan di tahun 1960-an.

Ayah Sadiq bekerja sebagai supir bis selama 25 tahun dan orang tuanya tinggal di rumah subsidi pemerintah sehingga mereka bisa menabung untuk membeli rumah sendiri.

Sadiq menjelaskan semua saudara kandungnya mendapatkan pendidikan yang sangat bagus di sekolah negeri dan tidak menciptakan tumpukan utang biaya sekolah yang "segunung".

Kehidupan yang jauh dari kata mewah tidak memupuskan semangat Sadiq menimba ilmu. Awalnya ia berniat untuk menjadi dokter gigi. Namun, seorang guru menyarankannya untuk mempelajari ilmu hukum, menimbang sifat Sadiq muda yang sangat senang berargumen dan menggandrungi program televisi "LA Law".

Pilihan pun jatuh ke jurusan hukum di Universitas London Utara, demikian dikutip publikasi "The New Statesman" (11/3).

Selepas kuliah, Sadiq menjadi pengacara dan membuka firma hukum bersama mitranya Louise Christian. Firma "Christian Khan" itu beroperasi 1997-2005 dan mempekerjakan sekitar 50 orang pegawai.

Memilih karir sebagai pengacara hak azasi manusia, Sadiq tercatat menangani kasus-kasus gugatan terhadap polisi, perselisihan kerja, hukum yang diskriminatif, dan kejahatan terhadap kelompok minoritas.

Karir politik di tingkat nasional mulai dibangun pada tahun 2005 ketika ia memenangkan pemilu untuk Partai Buruh di daerah pemilihan Tooting.

Di tahun yang sama, ia diganjar penghargaan "Pendatang Baru Terbaik" dalam pemilihan anggota parlemen tauladan versi majalah "The Spectator".

Karir politik Sadiq cukup dibilang melejit bila bukan disebut "meledak", sebab di era Perdana Menteri Gordon Brown (2009), ia dipercaya menjadi Menteri Transportasi sekaligus Muslim dan keturunan Asia pertama yang masuk ke dalam kabinet pemerintahan Inggris.

Sadiq pun berhasil mempertahankan daerah pemilihannya di Tooting dalam pemilu 2010 dan 2015, meskipun tahun 2015 adalah masa sulit Partai Buruh.

Dengan prestasi yang gemilang di dunia politik, suami Saadiya Ahmed itu pun akhirnya dianugerahi penghargaan "Politisi Terbaik tahun 2016" oleh British Muslim Awards (http://asianworldnews.co.uk).

Pemilu walikota London tahun ini membawa warna yang berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya, karena seorang kandidat Muslim di berbagai survei menunjukkan posisi yang sangat diunggulkan.

London dalam delapan terakhir dipimpin oleh Boris Johnson, dan saat ini Boris mendukung kampanye pesaing terdekat Sadiq yakni Zac Goldsmith dari Partai Konservatif.

Dukungan politik buat politisi Muslim disebut-sebut kian menguat terutama karena susunan demografi Kota London yang unik. Satu dari tiap delapan warganya adalah penganut agama Islam. Dengan kata lain, 12,5 persen populasi London adalah pemilih potensial berbasis keagamaan untuk Sadiq.

Selain itu, penduduk kulit putih keturunan Inggris di London hanya separuh dari total populasi.

"Saya ingin Muslim Inggris yang menaklukkan ekstrimisme dan radikalisasi," ujar Sadiq seperti disitir dari laman www.ABC.net.au.

Persaingan politik di London kali ini akan menyandingkan kompetisi antara anak supir bis dan anak bilioner. Hal ini tak lain karena Zac Goldsmith (41) adalah anak dari keluarga kaya raya Inggris, yang bersekolah di Eton, seperti Pangeran William dan Perdana Menteri David Cameron.

Sebagai orang yang datang dengan latar belakang Muslim dan imigran, Sadiq mencatat justru London adalah kota terbaik untuk hidup sebagai seorang Muslim.

Di publikasi majalah politik berusia lebih dari 500 tahun, "The Spectator" (www.spectator.co.uk), ia menegaskan anak-anaknya sudah sangat tepat tumbuh besar di London karena "...hukum di sini melindungi mereka dari tindakan diskriminasi."

"Hukum di sini telah melindungi hak-hak saya bisa misalnya saya ingin berwudhu dan sholat. Saya bisa memanjangkan janggut, dan bila istrinya memang berkehendak ia bisa saja menggenakan hijab" tanpa harus mengalami diskriminasi atau intimidasi, ujar pria berambut putih tersebut.

"Kita harus menjelaskan kepada masyarakat di negara dengan mayoritas Muslim bahwa saya adalah representasi Barat, dan bila mereka membenci Barat, berarti mereka membenci saya," tambah dia.

Tapi "kartu agama" yang menjadi salah satu senjata politik sekaligus pencitraan Sadiq tidaklah elok bila terus-terusan diusung. Sebab pemilu bukan semata soal agama atau latar belakang kehidupan para kandidat.

Pemilih akan memilih siapa yang menawarkan program kerja terbaik, solusi paling realistis buat tumpukan masalah mereka.

London masih menghadapi persoalan angka pengangguran yang tinggi yaitu sekitar 6,3 persen, setara dengan 291.000 orang di Februari 2016 (www.data.london.gov.uk). Angka ini lebih buruk daripada kondisi nasional Inggris yaitu 5,1 persen.

Pewarta: Ella Syafputri
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016