Sydney (ANTARA News) - Australia bertanggung jawab atas kondisi anak-anak yang mengalami stres, trauma, dan penyakit lain akibat ditahan dalam pusat penampungan pengungsi, kata utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) saat menyelidiki hak pengungsi, Jumat.

Temuan utusan khusus PBB, Francois Crpeau dianggap cukup penting oleh lembaga internasional itu guna mengawasi kebijakan Australia yang kontroversial.

Isu itu menjadi bahan perdebatan internasional, khususnya terkait cara menampung banyaknya pengungsi yang terusir akibat konflik.

"Anak-anak ini menunjukkan gejala stres pasca trauma seperti gelisah, depresi, dan tanda lain misalnya insomnia, mimpi buruk, dan mengompol. Situasi semacam itu tak dapat diterima," kata Crpeau.

Crpeau adalah salah satu pengamat internasional yang dikirim ke pusat tahanan di Pulau Nauru, Pasifik Selatan. Ia mengatakan, anak-anak menerima dampak dari kebijakan keras Australia untuk pengungsi.

Hukum Australia mengatur, pencari suaka yang menerobos negara itu melalui perahu akan langsung dikirim ke kamp pengungsi di Pulau Nauru dan Pulau Manus, Papua Nugini.

Setidaknya ada 1.200 orang yang saat ini ditahan tanpa kepastian dalam kamp.

Australia memberlakukan kebijakan tahanan pulau pada 2013 setelah banyaknya pengungsi yang datang via perahu dan tenggelam di lautan.

Kebijakan imigrasi keras itu mendapat dukungan sekaligus kecaman dari banyak pihak. Isu tersebut kini menjadi perdebatan panas para pemilih di Australia.

Departemen Imigrasi Australia menyatakan, "tidak menerima hasil pengamatan awal" yang dibuat Crpeau karena kebijakan lembaganya dibuat sesuai "kewajiban hukum internasional dan prinsip hak asasi manusia".

Crpeau menolak klaim Australia yang menyatakan, Nauru dan Papua Nugini bertanggung jawab atas kamp tersebut.

Kritik terhadap kebijakan Australia banyak dilontarkan setelah Amerika Serikat sepakat menerima pengungsi di Pulau Manus dan Nauru dalam jumlah "banyak".

Kesepakatan itu dicapai karena Australia setuju menampung pengungsi Amerika Tengah yang ditahan di Kosta Rika.

Perjanjian tersebut menjadi prospek positif bagi pencari suaka di Australia karena dapat tinggal di AS, sementara pengungsi Kosta Rika diperbolehkan tinggal di Australia.

Kesepakatan AS-Australia sempat dikhawatirkan batal karena membutuhkan persetujuan presiden AS terpilih, Donald Trump.

Crpeau mengkritisi aturan pemerintah Australia yang langsung menahan pendatang jika tidak memiliki visa. Baginya ketentuan itu melanggar hukum internasional.

"Banyak dari mereka rutin mengonsumsi pil untuk bahagia di pagi hari, dan pil tidur pada petangnya," katanya.

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2016