Dunia dan Eropa kini lebih membutuhkan Prancis dibandingkan dengan yang sudah-sudah ..."
Jakarta (ANTARA News) - Hanya beberapa hari setelah Francois Hollande, yang saat itu masih menjabat Presiden Prancis, berkunjung ke Indonesia akhir Maret silam, sebagai bagian dari rangkaian lawatannya ke Asia, Kementerian Luar Negeri Prancis mengundang media massa nasional menghadiri pelantikan presiden baru negeri itu.

Undangan itu disampaikan jauh sebelum tokoh berhaluan tengah pragmatis, pro-Uni Eropa dan penyokong internasionalisme, Emmanuel Macron, memenangkan pemilihan presiden Prancis dengan marjin telak 66 melawan 34 persen atas politisi ekstrem kanan, Marine Le Pen, 7 Mei 2017.

Kementerian Luar Negeri Prancis dan Francois Hollande seolah sudah tahu Macron akan menang dalam Pemilu karena sejak sebulan sebelum Pemilu putaran pertama 23 April, Macron selalu mengungguli kandidat-kandidat lain, termasuk Le Pen, Jean-Luc Melenchon dari ekstrem kiri dan Francois Fillon dari kelompok kemapanan Partai Republik.

Macron sendiri bukan berasal dari kekuatan arus utama politik Prancis, melainkan baru muncul lewat sebuah gerakan politik besar di Prancis satu tahun sebelum Pemilu. (Baca juga: Laporan dari Paris -- Warga Prancis sambut Presiden Emmanuel Macron)

Pemerintah Prancis seperti telah tahu siapa yang bakal berkuasa setelah Hollande, namun pesan yang muncul dari undangan itu adalah unjuk pamer bahwa Prancis tidak mau jatuh dalam pelukan ekstrem kanan dan tidak mau terbuai oleh politisi populis yang di Inggris dan Amerika Serikat malah dimenangkan menyusul sukses Brexit dan Donald Trump.

Prancis seolah ingin mengabarkan kepada dunia bahwa negara itu berbeda dari Inggris dan AS yang terbuai oleh para populis yang proteksionistis, isolasionis dan anti-asing seperti sering keluar dari mulut Donald Trump, baik sebelum maupun sesudah menjadi presiden AS.

Artikulasi Prancis itu bahkan diteriakkan lantang oleh Hollande sewaktu tur Asia dan Indonesia, Maret silam itu.

"Saya menyeru kita bersama untuk mengintensifkan pertukaran kita, perdagangan kita, kesepakatan politik dan budaya kita. Hal ini menjadi lebih penting karena bangkitnya proteksionisme, isolasionisme dan keraguan terhadap lembaga-lembaga internasional," kata Hollande seperti dikutip AFP, seolah mengingatkan ASEAN untuk mengantisipasi munculnya gugatan dari anggotanya seperti dialami Uni Eropa belakangan ini.

Hollande lalu menegaskan sikap Eropa kepada Asia dan dunia bahwa "kita punya banyak hal untuk dikerjakan bersama, banyak hal untuk dipertahankan bersama dan banyak hal untuk dipromosikan bersama."  Prancis dan Asia, kata Hollande, berbagi "konsep kemerdekaan dan keamanan yang sama".

Dunia butuh Prancis

Semburan kalimat Hollande itu lalu berkorespondensi dengan hasil Pemilu Prancis putaran kedua sebulan kemudian ketika bagian terbesar rakyat Prancis tak sudi mengkuti jalan populisme ala Inggris dan AS yang memilih melawan ekstremisme dengan ekstremisme dan isolasionisme, melainkan dengan simbol kerja sama dan internasionalisme.

Rakyat Prancis tak sudi melawan ketimpangan akibat internasionalisme perdagangan dengan mengadopsi pandangan anti-imigran dan menutup diri dari dunia yang sudah tak mungkin lagi dibalik menjadi eksklusif itu.

Padahal dibandingkan dengan Inggris dan AS, Prancis adalah korban terbesar keterbukaan setelah elemen-elemen radikal mengorupsinya untuk melancarkan serangan-serangan teror mematikan yang sepertinya ditujukan untuk memancing Prancis melawan ektremisme dengan ekstremisme, fanatisme dengan fanatisme, sehingga medan kekerasan meluas ke seantero jagat.

Prancis menolak skenario itu. Mereka menolak populisme yang mengharubiru Inggris dan Amerika. Mereka lebih suka meniru Belanda yang menolak pandangan ekstrem kanan dari tokoh populis anti-Islam, Geert Wilders.

Rakyat Prancis memilih Macron yang tak mengekspoitasi dan memanipulasi emosi terdalam rakyatnya seperti dilakukan Trump saat menyingkirkan Hillary Clinton pada Pemilu 2016, padahal rakyat Prancis punya selaksa alasan untuk jatuh dalam kubangan ekstremisme akibat kampanye serangan teror yang tumpah ruah ke Prancis sebagai resultante konflik di kawasan lain.

Simaklah ikrar Emmanuel Macron saat dilantik sebagai penghuni Champs Elysees paling muda dalam sejarah modern Prancis sejak Napoleon Bonaparte menjadi pemimpin republik Prancis yang pertama.

"Dunia dan Eropa kini lebih membutuhkan Prancis dibandingkan dengan yang sudah-sudah, yakni Prancis yang kuat yang lantang menyuarakan kebebasan dan solidaritas. Kekuatan Prancis tidak melemah, sebaliknya kita sedang di sebuah ambang pencerahan besar," kata Macron, 14 Mei kemarin, seperti dikutip BBC.

Kalimat itu bergema ke seluruh dunia yang antusiastis menyoroti seremoni pelantikan termegah seorang presiden Prancis dalam beberapa dekade terakhir, yang juga menjadi simbol tersudutnya populisme dan ekstrem kanan di Eropa yang sebelumnya telah ditampar oleh hasil Pemilu Belanda dan Austria, dan mungkin segera menyusul Pemilu di Jerman, Oktober kelak.

Cermati populisme

Macron memang menang besar di bawah bangkitnya populisme dan ekstrem kanan serta tingginya angka golput sampai 25 persen serta menyisakan pekerjaan rumah tak kalah hebat untuk menguasai parlemen demi memuluskan agenda-agenda reformisnya.

Tetapi, pesan Macron dan keputusan sebagian besar rakyat Prancis untuk memilihnya telah mewangsitkan kepada dunia, termasuk Indonesia, bahwa Prancis dan Eropa sedang mengajak dunia untuk tidak masuk rayuan kaum populis yang di masa lalu malah salin rupa menjadi diktator-diktator keji nan berbahaya seperti Adolf Hitler.

Uniknya, tokoh populis paling populer di dunia saat ini, Donald Trump, juga menunjukkan gejala-gejala antikritik seperti dimiliki para diktator di masa silam. Salah satunya dengan mencap media massa arus utama sebagai "fake news" atau media pembohong, hanya karena mengungkap sisi lain dari dua sisi mata uang dalam cara Trump berkebijakan, selain pribadi dan bagaimana media membedah kabinetnya.

Uniknya, cara Trump naik berkuasa cenderung hendak ditiru elite politik di belahan lain, termasuk Asia, sampai-sampai The Guardian, dalam editorialnya 9 Mei 2017, meminta politisi-politisi Indonesia untuk mawas diri terhadap populisme yang keberbahayaannya disebut harian Inggris ini telah menyebar ke seluruh dunia.

"Melawannya memang berisiko, tetapi kalangan arus utama akan menghadapi risiko jauh lebih buruk jika tidak bisa mengatasinya," imbau The Guardian kepada elite Indonesia.

Dan Prancis, melalui kemenangan Macron, telah juga berpesan serupa kepada dunia untuk tidak terbuai oleh para populis yang acap mangaduk emosi terdalam rakyat sebagai pintu berkuasa. Prancis, Belanda, dan Austria telah menolak metode berkuasa seperti itu. Jerman di bawah Angela Merkel segera menyusul kemudian.

Mungkin itu semua tak akan cepat mengandaskan arus besar populisme, namun seorang populis seperti Donald Trump saja ternyata sampai 100 hari pertama kekuasaannya tak berhasil menciptakan alternatif lebih baik dari tatanan dunia yang sedang berlaku saat ini.  

Trump bahkan kesulitan merekonsiliasikan janji-janji politiknya dengan dunia nyata karena sistem sudah terlalu ajeg sehingga tak mudah diubah begitu saja oleh hanya agenda-agenda populis.

Ini karena, seperti disebut pendahulu Trump, Barack Obama, realitas kekuasaan jauh lebih rumit dari pada retorika-retorika aduhai yang membius para pemilih.

Kalau sudah begitu, tak berlebihan jika dunia dan Indonesia menarik pelajaran dari Eropa serta AS, dan tak kalah penting dari kemenangan Macron di Prancis. Paling tidak, mencermati populisme.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2017