Jakarta (ANTARA News) - Inspektur Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Sugito divonis 1,5 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 2 bulan kurungan karena terbukti memberikan suap senilai Rp240 juta kepada audtior BPK agar Kemendes PDTT mendapat Opini WTP.

"Mengadili, menyatakan terdakwa Sugito terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan dan denda sebesar Rp100 juta dengan kententuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan," kata ketua majelis hakim Diah Siti Basariah dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.

Sedangkan bawahan Sugito, Kepala Bagian Tata Usaha dan Keuangan pada Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendes PDTT Jarot Budi Prabowo juga divonis bersalah dalam kasus yang sama.

"Mengadili, menyatakan terdakwa Jarot Budi Prabowo terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan ditambah denda sebesar Rp75 juta dengan kententuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan," kata hakim Diah.

Vonis itu lebih rendah dibanding dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang menuntut agar Sugito divonis 2 tahun penjara ditambah denda Rp250 subsider 6 bulan kurungan, sementara Jarot dituntut 2 tahun ditambah denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan berdasarkan dakwaan pertama dari pasal 5 ayat (1) huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jota pasal 64 ayat ke-1 KUHP.

Majelis hakim yang terdiri atas Diah Siti Basariah, Ibnu Basuki Wibowo, Hastoko, Sofialdi dan Sigit Herman Binaji menyatakan bahwa perbuatan keduanya dianggap malah memperburuk citra inspektorat.

"Perbuatan terdakwa semakin menguatkan persepsi publik bahwa Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) atau inspektorat belum optimal melakukan tugas untuk mengawasi jalannya pemerintah dan malah jadi bagian permasalahan," tambah hakim Diah.

Dalam perkara ini, Irjen Kemendes PDTT Sugito bersama-sama dengan Kepala Bagian Tata Usaha dan Keuangan pada Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendes PDTT Jarot Budi Prabowo memberikan Rp240 juta secara bertahap kepada Auditor Utama Keuangan Negara III BPK Rochmadi Saptogiri selaku penanggung jawab pemeriksaan laporan keuangan TA 2016 Kemendes PDTT dan Wakil Penanggung Jawab merangkap Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Auditorat III. B Ali Sadli

Pemberian suap diawali pemeriksaan atas laporan keuangan Kemendes PDTT tahun anggaran 2016 dengan masa tugas 60 hari mulai 23 Januari-17 April 2017 di Jakarta, Banten, Aceh, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat.

Pada akhir April 2017, Sugito dan Anawar Sanusi bertemu denganKetua Sub Tim 1 Pemeriksa BPK Choirul Anam yang menginfirmasikan bahwa Kemendes PDTT akan memperoleh Opini WTP dan menyarankan agar Rochmadi dan Ali Sadli diberi sejumlah uang dengan mengatakan "Itu Pak Ali dan Pak Rochmadi tolong atensinya" yaitu sekitar Rp250 juta.

"Pemberian uang dari Sugito melalui Jarot Budi Prabowo tidak lepas dari keinginan untuk mendapatkan opini WTP dan akibat dari pemberian itu Kemendes mendapat opini WTP," ungkap hakim Sigit.

Dalam memenuhi pemberian Rp250 juta itu maka pada awal Mei 2017, Sugito atas sepengetahuan Anwar Sanusi mengumpulkan para Sesditjen, Sesbadan, Sesitjen serta Karo Keuangan dan BMN. Sugito meminta adanya "atensi atau perhatian" dari seluruh Unit Kerja Eselon I (UKE 1) kepada Tim Pemeriksa BPK berupa pemberian uang dengan jumlah keseluruhan sebesar Rp200-300 juta.

Rapat menyepakati bahwa uang yang akan diberikan kepada Rochmadi dan Ali Sadli ditanggung oleh 9 UKE 1 dengan besaran uang sesuai kemampuan dari masing-masing UKE 1, uang akan disetorkan kepada Jarot.

"Pemberian sesuatu telah terjadi sejak awal pemeriksaan yaitu pemeriksaan untuk 5 daerah sampling dengan alasan dana tidak ter"-cover anggaran dinas sehingga sudah ada pengumpulan uang yang diberikan ke Ekamatwati terkumpul Rp250 juta yang merupakan konflik kepentingan bukti petunjuk untuk mendapatkan WTP atas usulan Sekjen atau eselon 1 karena tidak dibenarkan untuk meminta dana di luar penganggaran," tambah hakim Sigit.

Setelah uang sebesar Rp200 juta terkumpul maka Jarot pada 10 Mei 2017 membawa tas kain belanja berisi uang sejumlah Rp200 juta. Ia menemui Ali Sadli di ruang kerjanya Lantai 4 kantor BPK RI. Jarot menyampaikan "Ada titipan dari Pak Irjen, Sugito".

Pemberian selanjutnya adalah pada 26 Mei 2017 Jarot mengantarkan sisa uang sebesar Rp40 juta ke kantor BPK RI menggunakan kendaraan motor ojek online.

Jarot langsung masuk ke ruang kerja Ali Sadli di lantai 4. Setelah bertemu dengan Ali, saat akan pulang Jarot memberikan sebuah tas kertas berwarna coklat bertuliskan "Pandanaran" yang berisi uang sebesar Rp40 juta kepada Ali Sadli dan menyampaikan "Pak, ini ada titipan", kemudian tas berisi uang tersebut disimpan oleh Ali Sadli ke dalam laci meja kerjanya.

Mengenai permintaan Sugito dan Jarot untuk ditahan di lapas Cibinong, majelis hakim menilai hal itu di luar kewenangannya.

"Terkait permintaan terdakwa untuk ditempatkan di lapas Cibinong bukan kewenangan majelis hakim, tapi kewenangan kementerian terkait yaitu Kementerian Hukum dan HAM cq dirjen pemasrayakatan namun perlu disampaikan ke pejabat yang berwenang," ungkap hakim Sigit.

Atas vonis itu, Sugito dan Jarot menerima putusan.

"Saya selaku terdakwa menerima putusan mengucapkan terima kasih kepada majelis hakim termasuk JPU, saya menerima putusan,"kata Sugito.

Sedangkan JPU KPK menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2017