Tunis (ANTARA News) - Polisi Tunisia pada Rabu malam (10/1) bentrok dengan pengunjuk rasa menentang pemerintah di setidak-tidaknya lima kota, termasuk distrik ibu kota, Tunis, kata saksi.

Peristiwa itu terjadi pada malam keempat unjuk rasa menentang langkah penghematan, demikian seperti diberitakan Reuters.

Polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan kerumunan orang di Tunis dan Tebourba, kota kecil di luar ibu kota, tempat seorang penentang tewas pada Senin.

Unjuk rasa meletus di setidak-tidaknya 12 kota di Tunisia, di antaranya kota wisata Sousse dan Hammamet, menentang kenaikan harga dan pajak, yang diberlakukan pemerintah untuk mengurangi defisit, yang membengkak, dan memuaskan kreditor internasional.

Sementara Tunisia secara luas dipandang sebagai satu-satunya kisah sukses demokrasi di antara negara tempat Kebangkitan Arab terjadi pada 2011. Telah muncul sembilan pemerintahan sejak saat itu dan tidak satu pun dari mereka mampu mengatasi masalah ekonomi, yang terus berkembang.

Eropa prihatin dengan ketidakstabilan di Tunisia, sebagian karena pengangguran telah memaksa banyak orang muda Tunisia untuk pergi ke luar negeri. Jumlah kapal penyelundup pengungsi ke Italia telah meningkat dan Tunisia juga telah menghasilkan jumlah gerilyawan terbesar yang menuju medan perang di Irak, Suriah dan Libya.

Kemarahan publik telah terbangun sejak 1 Januari, ketika pemerintah menaikkan harga bensin dan barang lainnya dan menaikkan pajak atas mobil, telepon, penggunaan internet dan akomodasi hotel sebagai bagian dari reformasi ekonomi tersebut.

Setahun lalu, pemerintah menyetujui sebuah program pinjaman empat tahun dari Dana Moneter Internasional senilai sekitar 2,8 miliar dolar sebagai imbalan atas reformasi ekonomi.

"Hari ini kita mengadakan pertemuan dengan partai-partai oposisi untuk mengkoordinasikan gerakan kita, tapi kita akan tetap di jalanan dan kita akan meningkatkan laju aksi demonstrasi sampai hukum keuangan yang tidak adil dibatalkan," pemimpin oposisi Popular Front Hamma Hammami mengatakan kepada wartawan.

Dengan menambah tekanan pada pemerintah, Nourredine Taboubi, kepala serikat pekerja UGTT, menuntut upah minimum dan bantuan untuk orang miskin dinaikkan dalam waktu seminggu, kata kantor berita negara TAP.

Perdana Menteri Youssef Chahed meminta agar warga tenang, dengan mengatakan ekonomi akan membaik tahun ini. Chahed, yang mengepalai sebuah koalisi partai Islam dan sekuler, mendapat tekanan konstan dari serikat pekerja mengenai ekonomi yang goyah.

"Orang harus mengerti bahwa situasinya luar biasa dan negara mereka mengalami kesulitan, tapi kami yakin 2018 akan menjadi tahun terakhir yang sulit bagi orang Tunisia," kata Chahed.

Pemberontakan pada 2011 dan dua serangan pegaris keras utama di Tunisia pada 2015 merusak modal asing dan pariwisata, yang menyumbang delapan persen dari kegiatan ekonominya.

(Uu.G003)

Pewarta: GNC Aryani
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2018