Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih mengumpulkan bukti-bukti dari luar negeri dalam penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan "Quay Container Crane" (QCC) di Pelindo II dengan tersangka RJ Lino.

"Dalam kasus ini, kami memang masih punya satu hal yang harus dikerjakan terkait dengan pengumpulan bukti yang harus membutuhkan kerja sama lintas negara," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Kamis.

Namun, Febri belum bisa memastikan lebih lanjut bagaimana mekanisme untuk pengumpulan bukti-bukti dari luar negeri tersebut.

"Mekanisme pastinya saya belum cek lagi ke tim penyidik tetapi segala sarana kerja sama internasional sudah coba kami gunakan untuk mendapatkan bukti-bukti di negara tersebut. Sejauh ini belum ada perkembangan yang signifikan terkait dengan hal itu," ucap Febri.

Selain itu, Febri juga menyatakan dalam penyidikan kasus itu lembaganya masih terus berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) soal finalisasi perhitungan kerugian keuangan negara pengadaan QCC itu.

"Jadi, tim penyidik masih terus berkoordinasi dengan BPKP tentu untuk finalisasi perhitungan tersebut. Selain unsur-unsur melawan hukumnya yang harus kami pertajam dari waktu ke waktu perhitungannya juga perlu dilakukan dengan koordinasi bersama BPKP," ungkap Febri.

KPK pun pada Kamis memeriksa tiga saksi untuk tersangka RJ Lino dalam penyidikan kasus itu.

Tiga saksi yang diperiksa antara lain mantan Direktur Teknik dan Operasional PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II Ferialdy Noerlan, Senior Manager Peralatan PT Pelindo II dan Pj Direktur Utama PT Jasa Peralatan Pelabuhan Indonesia (JPPI) Haryadi Budi Kuncoro, dan pegawai PT Pelindo II Pelabuhan Tanjung Priok Wahyu Hardiyanto.

"Materi pemeriksaannya kurang lebih penyidik mengkonfirmasi kepada para saksi tentang proses pengadaan QCC tersebut. Jadi, kami rinci kembali proses pengadaannya seperti apa termasuk juga kami klarifikasi pengetahuan dari saksi terkait dengan penunjukan rekanan dan besaran biaya yang dibayarkan saat itu," ucap Febri.

Haryadi diketahui adalah adik kandung dari mantan Wakil Ketua KPK 2011-2015 Bambang Widjojanto.

PT JPPI sendiri adalah anak perusahaan PT Pelindo II yang bergerak di bidang jasa perawatan peralatanan dan alat berat yang didirikan pada 2012.

Haryadi selaku Senior Manager Peralatan PT Pelindo II adalah orang yang langsung bertanggungjawab dalam pemesanan peralatan yang digunakan PT Pelindo II, termasuk QCC yang didatangkan dari perusahaan HDHM (PT Wuxi Hua Dong Heavy Machinery. Co.Ltd.) asal China.

Sementara itu, Ferialdy Noerlan sebelumnya juga telah ditetapkan sebagai tersangka kasus pengadaan "mobile crane" oleh Bareskrim Polri pada 2013 lalu.

RJ Lino sendiri sampai saat ini belum ditahan KPK meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka kasus pengadaan tiga QCC.

Sebelumnya, Richard Joost Lino ditetapkan KPK sebagai tersangka pada 15 Desember 2015 karena diduga memerintahkan pengadaan tiga QCC dengan menunjuk langsung perusahaan HDHM (PT Wuxi Hua Dong Heavy Machinery. Co.Ltd.) dari China sebagai penyedia barang.

Menurut KPK, pengadaan tiga unit QCC tersebut tidak disesuaikan dengan persiapan infrastruktur yang memadai (pembangunan powerhouse), sehingga menimbulkan in-efisiensi atau dengan kata lain pengadaan tiga unit QCC tersebut sangat dipaksakan dan suatu bentuk penyalahgunaan wewenang dari RJ Lino selaku Dirut PT Pelabuhan Indonesia II demi menguntungkan dirinya atau orang lain.

Berdasarkan analisa perhitungan ahli teknik dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menyatakan bahwa analisa estimasi biaya dengan memperhitungkan peningkatan kapasitas QCC dari 40 ton menjadi 61 ton, serta eskalasi biaya akibat dari perbedaan waktu terdapat potensi kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya 3.625.922 dolar AS (sekitar Rp50,03 miliar) berdasarkan Laporan Audit Investigatif BPKP atas Dugaan Penyimpangan Dalam Pengadaan 3 Unit QCC Di Lingkungan PT Pelindo II (Persero) Tahun 2010 Nomor: LHAI-244/D6.02/2011 Tanggal 18 Maret 2011.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018