Masih soal Joni. Anak laki-laki berusia 14 tahun asal Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, yang sejak 17 Agustus 2018 menjadi buah bibir masyarakat Indonesia.

Nama lengkapnya Yohanes Ande Kalla Marcal. Namun menurut Joqino Carvalho Marcal (19) sejak kecil adiknya sudah dipanggil Joni.

Setelah aksi heroiknya memanjat tiang bendera setinggi 20 meter untuk memastikan upacara pengibaran bendera Merah Putih di Atambua berlanjut, Joni yang kini duduk di kelas satu SMP Negeri 1 Silawan mendadak terkenal.

Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrowi pada 17 Agustus menyebutnya sebagai "pahlawan hari ini" dan mengundangnya untuk menyaksikan pembukaan Asian Games di Jakarta, tempat dia kemudian bertemu para menteri dan Presiden Joko Widodo.

Aksi spontan bungsu dari sembilan bersaudara anak pasangan Lorensa Gama (53) dan Viktorlino Fahik Marcal (65) itu bahkan mengingatkan Menteri Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada pemicu pecahnya pertempuran Surabaya, yakni penyobekan bagian bendera Belanda yang berwarna biru di atap Hotel Yamato hingga tinggal merah dan putih, bendera Indonesia.

Meski situasinya berbeda, menurut dia, keduanya membawa semangat yang sama: ingin memastikan Merah Putih berkibar.


Panjat pohon asam

Joni dihadapan wartawan di Jakarta mengaku tidak takut memanjat tiang setinggi 20 meter yang saat dia naiki bergoyang-goyang karena sudah biasa memanjat pohon, dari pohon pinang, asam hingga kelapa.

Qino, kakak ke-6 Joni, saat menemani adiknya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, menuturkan keseharian sang adik di Desa Silawan, tak jauh dari tapal batas Indonesia dan Timor Leste.

Keluarga Joni tinggal hanya beberapa ratus meter dari perbatasan. Di sana, Joni biasa menghabiskan sebagian waktunya untuk membantu ibunya mengambil dan mengumpulkan asam.

Tentu yang memanjat pohon asam Joni, bukan mamaknya, ujar Qino, kakak Joni yang sekolah di SMK Negeri 2 Belu mengambil jurusan otomotif.

Dalam pengambilan dan pengumpulan asam, Joni bertugas memanjat pohon asam di hutan sekitar desa dan memetik buahnya, sementara sang ibu mengumpulkannya ke dalam karung.

Menurut Qino, hutan yang ditumbuhi pohon asam cukup luas di tiga desa perbatasan Belu.

"Kadang mereka juga mengambil asam sampai melewati perbatasan. Tidak apa-apa, boleh," ujar Qino tentang kegiatan adik bungsu dan mamaknya.

Musim kering, dari Juli hingga Oktober, menurut dia, merupakan waktu terbaik untuk mengambil asam. Selama musim kering, Joni dan mamaknya bisa membawa pulang lima karung berisi asam kalau pergi mencari dan mengumpulkannya sejak pagi hingga sore.

"Tapi kalau pergi jam satu siang paling hanya dua kilogram terkumpul," lanjutnya.

Pohon asam di sana banyak dan juga sudah lumayan tua usianya. Banyak pula yang tingginya 10 meter atau lebih. Pohon-pohon seperti ini yang hampir setiap hari dipanjati Joni.

"Setelah mengumpulkan asam, Mamak akan kupas kulitnya lalu dimasukkan lagi dalam karung untuk kemudian dijual ke Atambua. Atau nanti ada yang datang jemput," kata Qino.

Keluarga Joni bisa mengumpulkan hingga 40 kilogram (kg) asam dalam sepekan, dan akan menjualnya dengan harga sekitar  Rp5.000 per kg. Tapi ketika asam sedang melimpah, menurut Qino, harganya bisa turun menjadi Rp2.500 per kg.


Keseharian

Selain menjual asam, keluarga Joni berdagang roti bakar. Sepulang dari mengumpulkan asam, ibu Joni akan menyiapkan roti bakar untuk dibakar dan dijual sebagai menu sarapan pagi hingga ke perumahan terdekat di Timor Leste.

"Ada banyak rumah di sana, mungkin ada 100 rumah. Joni yang bawa ke sana pagi-pagi sebelum sekolah, dijual Rp1.000 satu roti bakar," kata Qino.

Qino, yang sekarang duduk di kelas 3 SMK, mengatakan keseharian Joni sama dengan yang dilakukannya saat seusia adiknya.

Sekarang, karena sudah mulai banyak kegiatan praktikum di sekolah Qino, kegiatan membantu Mamak diserahkan semua pada adik bungsunya.

"Ambil asam, panjat pohon, ambil rumput (untuk pakan ternak), jual roti bakar," kata Qino tentang keseharian dia dan adiknya, serta anak-anak lain di kampung tempat mereka tinggal.

Setelah membantu orangtua, anak-anak di tapal batas seperti Joni dan Qino bermain sepak bola, meluangkan satu sampai dua jam pada sore hari untuk menikmati permainan favorit mereka.

Dan kini, setelah menerima beasiswa dari beberapa lembaga dan hadiah-hadiah berkat aksi heroiknya, Joni mungkin bisa lebih tenang belajar dan punya lebih banyak waktu untuk menikmati masa kecilnya.

Baca juga:
Joni dapat rumah dan sepeda dari Presiden
Joni dapat penghargaan dari Mendikbud
Panglima TNI berikan beasiswa kepada Joni

 

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018