San Francisco (ANTARA News) - Ribuan massa turun ke jalan di San Francisco, California, Amerika Serikat, Sabtu (Minggu WIB) menyuarakan aksi melawan kelambanan kebijakan pemerintahan global dalam pengendalian perubahan iklim.

Ikut bergabung dalam aksi yang dipusatkan di Balai Kota San Francisco tersebut perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama masyarakat adat global Penjaga Hutan (Guardian of the Forests) dari berbagai negara mengkampanyekan pengendalian perubahan iklim dunia.

Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN Sulawesi Selatan Sadli Razak yang ambil bagian bersama anggota AMAN lainnya dalam aksi tersebut mengatakan kehadirannya juga menyuarakan pengakuan dan perlindungan terkait hak dan tanah adat.

Sedangkan khusus untuk Sulawesi Selatan, ia mengatakan kehadiran BPH AMAN untuk menyuarakan penghentian eksploitasi wilayah masyarakat adat, mengakui pengetahuan adat, dan komitmen yang besar untuk menjaga wilayah dan hutan adat.

Pada aksi tersebut AMAN juga bersuara agar pengesahan Rancangan Undang-Undang (UU) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dapat segera dilakukan oleh pemerintah dan DPR.

Aksi turun ke jalan masyarakat global yang juga menjadi rangkaian Global Climate Action Summit (GCAS) 2018 sekaligus mengkritik sikap negara-negara maju dalam negosiasi transparansi dan pendanaan berkelanjutan untuk pengendalian perubahan iklim yang memasuki hari-hari akhir di Bangkok, Thailand.

Dalam pertemuan yang bertujuan menetapkan "buku teks" sebagai aturan besar pelaksanaan Paris Agreement sebelum disepakati di Conference of Parties (COP) 24 Polandia tersebut Uni Eropa, Swiss, Kanada, Norwegia, Jepang justru disebutkan berada di bawah bayang-bayang Amerika Serikat.

Direktur Kebijakan dan Kampanye ActionAid USA Brandon Wu mengatakan sejauh ini di Bangkok, negara-negara kaya membuat upaya menghindari percakapan mengenai pendanaan pengendalian perubahan iklim. AS tentu memberikan contoh buruk, tapi yang menyusahkan adalah sikap pemerintah lain dari Uni Eropa dan Norwegia yang bersembunyi dibalik sikap pemerintah AS dibanding mengambil sikap memimpin.

Kondisi ini, menurut dia, justru membayakan proses negosiasi secara keseluruhan. Dan meninggalkan tanda tanya besar tidak hanya dalam mencapai tujuan Paris Agreement, tetapi juga menempatkan banyak kehidupan dan "livelihoods" dari komunitas rentan di seluruh dunia dalam risiko.

Delegasi Republik Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim Bangkok sebagai sesi tambahan negosiasi sebelum COP 24 Polandia yang dipimpin oleh Penasehat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Perubahan Iklim dan Konvensi Internasional Nur Masripatin menekankan pentingnya tingkat kedetilan dari setiap elemen "buku teks" Paris Agreement.

Baca juga: Forum perubahan iklim siapkan pelaku lingkungan ke Polandia
Baca juga: PBB: kekerasan terhadap masyarakat adat global meningkat

 

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Desi Purnamawati
Copyright © ANTARA 2018