Saat ini masih ada anggapan peserta, misalnya hanya cocok mendapat pelayanan di rumah sakit X atau dokter X. Padahal kapasitas atau kompetensi pemberi pelayanan kesehatan lain rumah sakit Y atau dokter Y bisa dikatakan sama.
Jakarta, (Antara) - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mulai memfinalisasi penerapan sistem rujukan daring bagi peserta dengan menambah peraturan-peraturan baru untuk penyempurnaan.

Deputi Direksi Bidang Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan Arief Syaifuddin mengatakan di Jakarta, Jumat, menjelaskan penerapan sistem rujukan dari fase ketiga dimulai pada 16 hingga 30 September 2018.

"Diharapkan uji coba fase tiga sistem ini dapat semakin matang, baik fasilitas kesehatan, peserta maupun BPJS Kesehatan makin siap sebelum implementasi pada 1 Oktober 2018 mendatang," kata Arief.

Menurut dia, saat ini pelaksanaan sistem rujukan daring mulai berjalan dengan baik dan sudah diterapkan hampir di seluruh fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan rumah sakit.

Arief menjelaskan beberapa masalah yang terjadi sejak dilakukan uji coba sistem rujukan daring fase pertama seperti rumah sakit yang kesulitan memasukan data praktik dokter ke sistem sehingga tidak terbaca di FKTP sudah tidak ada lagi.

"Sekarang Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) sudah 95 persen entry datanya, sehingga jadi lebih lengkap. Sehingga tidak ada lagi poli yang tidak terima pasien karena tidak terbaca di FKTP," kata Arief.

Berdasarkan hasil evaluasi fase kedua yang dilaksanakan sejak tanggal 1 hingga 15 September, Arief mengungkapkan sudah banyak rumah sakit yang terbaca dalam sistem di Puskesmas maupun klinik untuk memberikan rujukan.

Pada uji coba fase ketiga ini, BPJS Kesehatan menambahkan keterangan masa berlaku rujukan menjadi 90 hari sejak dibuat, yang sebelumnya tidak ada.

Selain itu ditegaskan untuk beberapa kasus penyakit khusus seperti kanker, hemofilia, thalasemia, hemodialisa, dan TBC resistan, diperbolehkan untuk langsung dirujuk ke rumah sakit tipe A tanpa harus dirujuk ke rumah sakit tipe C dan D lebih dulu.

Arief mengakui akan ada potensi ketidaknyamanan yang dirasakan oleh peserta atau pasien dengan berubahnya sistem rujukan ini.

Oleh karena itu Arief meminta agar para peserta bisa mengubah persepsi tentang rumah sakit besar memiliki pelayanan yang lebih bagus dibanding rumah sakit tipe D dan C.

"Saat ini masih ada anggapan peserta, misalnya hanya cocok mendapat pelayanan di rumah sakit X atau dokter X. Padahal kapasitas atau kompetensi pemberi pelayanan kesehatan lain rumah sakit Y atau dokter Y bisa dikatakan sama. Bisa juga mungkin jaraknya lebih dekat dengan rumah atau tidak ada antrean," ujar Arief.

Fasilitas kesehatan juga diharapkan senantiasa melengkapi dan memperbarui data kompetensi dan sarana melalui aplikasi Health Facilities Information System (HFIS), serta terus mengedukasi konsep rujukan online bagi peserta. 

Arief berharap melalui edukasi yang sistemis ini diharapkan dalam fase 3 ini pelaksanaan sistem rujukan online ini akan semakin baik dan dirasakan manfaatnya oleh peserta. Pada jangka panjang, digitalisasi rujukan ini akan mendekatkan peserta JKN-KIS dengan fasilitas kesehatan dan mengurangi antrean dalam pelayanan kesehatan.*

Baca juga: BPJS Kesehatan gandeng CIMB Niaga kerja sama SCF

Baca juga: RSUD Banjarbaru tagih hutang BPJS-Kes Rp8,4 miliar


 

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018