Saat ini BMKG tetap memantau perkembangan kegempaan dan fluktuasi muka air laut di Selat Sunda. Masyarakat tetap mewaspadai zona bahaya dengan radius 500 meter dari bibir pantai yang elevasi ketinggiannya kurang dari lima meter
Yogyakarta,  (ANTARA News) - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memastikan gempa beruntun yang terekam di Selat Sunda pada tanggal 10 dan 11 Januari 2019 tidak mengakibatkan kenaikan permukaan air laut yang signifikan sebagai indikasi tsunami di kawasan tersebut.

Deputi Bidang Geofisika BMKG, Muhamad Sadly melalui keterangan yang diterima Antara di Yogyakarta, Sabtu, mengatakan potensi terjadinya kembali tsunami di Selat Sunda memang masih ada.

"Sedikitnya terdapat tiga sumber tsunami di Selat Sunda, yakni Kompleks Gunung Anak Krakatau (GAK), Zona Graben, dan Zona Megathrust," katanya.

Ia menjelaskan, Kompleks GAK terdiri atas Gunung Anak Krakatau, Pulau Sertung, Pulau Rakata dan Pulau Panjang. Gunung serta ketiga pulau tersebut tersusun dari batuan yang retak-retak secara sistemik akibat aktivitas vulkano-tektonik.

Akibatnya, kompleks tersebut rentan mengalami runtuhan lereng batuan (longsor) ke dalam laut, dan berpotensi kembali membangkitkan tsunami.

Menurut dia, Zona Graben yang berada di sebelah barat-barat daya Kompleks GAK, juga merupakan zona batuan rentan runtuhan lereng batuan (longsor) dan berpotensi memicu gelombang tsunami. Sementara itu. Zona Megathrust termasuk pula sebagai wilayah yg berpotensi membangkitkan patahan naik pemicu tsunami.

"Atas dasar itulah hingga saat ini BMKG tetap memantau perkembangan kegempaan dan fluktuasi muka air laut di Selat Sunda. BMKG juga mengimbau masyarakat untuk mewaspadai zona bahaya dengan radius 500 meter dari bibir pantai yang elevasi ketinggiannya kurang dari lima meter," katanya.

Sementara itu, Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati menyampaikan bahwa pemasangan beberapa alat pantau dilakukan di sejumlah titik di Selat Sunda guna memantau aktivitas kegempaan dan fluktuasi muka air laut.

Sejumlah titik itu di antaranya di Pulau Sebesi, Ujung Kulon, dan Labuan. Pulau Sebesi merupakan pulau terdekat dengan Kompleks GAK yang saat ini bisa dijangkau untuk pemasangan alat.

"Pulau ini difungsikan sebagai 'buoy' alam agar dapat memberikan rekonfirmasi lebih dini bahwa gelombang tsunami terjadi," kata dia.

Dwikorita pun menambahkan, agar pemantauan aktivitas kegempaan dan fluktuasi muka air laut lebih maksimal, BMKG merekomendasikan untuk membangun BTS (Base Transceiver Station) khusus di sekitar GAK dan Ujung Kulon.

Selain itu, juga dilakukan penambahan instrumentasi dan fasilitas untuk pemantauan muka air laut. Misalnya antara lain, Tide Gauge atau Sensor Water Level, Buoy, dan Radar Tsunami atau HF Radar.

"Penambahan peralatan tersebut untuk mempercepat pengiriman data hasil pengamatan aktivitas kegempaan dan fluktuasi muka air laut yang terpantau. Dengan begitu, kita memiliki lebih banyak waktu untuk meminimalisir jumlah korban akibat gempa maupun tsunami di wilayah pesisir Selat Sunda," katanya.

Dwikorita menambahkan, untuk mengantisipasi beredarnya informasi sesat dan bohong mengenai kondisi Selat Sunda, BMKG mengimbau masyarakat untuk melakukan cek dan kroscek informasi melalui kanal-kanal resmi milik BMKG.

 "Jangan terpancing isu hoax, pantau terus Info BMKG untuk 'update' informasi kegempaan dan tsunami serta info prakiraan cuaca serta iklim. Sedangkan informasi mengenai erupsi gunung api dan zona rentan longsor masyarakat bisa memonitor Magma Indonesia," kata Dwikorita.

Baca juga: Gempa beruntun di Selat Sunda tidak berpotensi tsunami
 

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019