Jakarta (ANTARA News) - Pengamat menilai aturan ojek daring baru yang tidak tepat bisa menghambat pertumbuhan industri digital, terutama sektor ride hailing (berbagi tumpangan).

"Kalau (tarif) kemahalan, konsumen berpotensi berkurang, maka pengemudi akan ikut terdampak. Akhirnya berdampak juga terhadap kelangsungan industrinya," kata pengamat industri digital dari Indonesia ICT Institute Heru Sutadi menjawab pers di Jakarta, Senin.

Pernyataan itu terkait rencana penetapan tarif batas bawah dan atas sebesar Rp3.100-3.500 yang dianggap terlalu mahal bagi konsumen.

Karena itu, kata dia, pemerintah sebaiknya juga harus memperhatikan kelangsungan industri digital sebagai tulang punggung (back bone) operasional ojek daring.

Apalagi, kata dia, konsumen layanan ojek daring bukan cuma individu, melainkan juga UMKM dan e-commerce yang memanfaatkan jasa logistik lewat penyedia transportasi berbasis aplikasi tersebut.

Ia mencontohkan kasus kenaikan tarif dan bagasi berbayar pada pesawat terbang, yang berdampak pada penurunan jumlah penumpang secara signifikan.

Imbasnya pun telah sampai ke bisnis logistik dan e-commerce.

"Sebab itu, pemerintah perlu cermat menghitung kenaikan tarifnya. Tak cuma tarif per kilometer yang patut dipertimbangkan, kemampuan konsumen juga harus dihitung," ujar Heru.

Heru mengatakan keberadaan layanan aplikasinya di era disrupsi memang membantu mobilitas konsumen. Selain tarif per kilometer yang jelas, mereka mudah dipesan menggunakan aplikasi yang tersedia. Dengan begitu, konsumen bisa mendapat layanannya kapan saja dan dimana saja.

Namun, kata Heru melanjutkan, saat ini konsumen sebenarnya sudah tak lagi mendapat layanannya dengan harga murah seperti dahulu. Harga yang seolah-olah murah hanya berlaku saat promosi berlangsung. Ketika tanpa promosi, alias tarif dalam kondisi normal, besarannya sudah cukup sesuai baik bagi konsumen maupun mitra pengemudi.

"Kalau (tarif) mau dinaikkan terlalu mahal, kemudian konsumen keberatan, bukan tak mungkin mereka akan beralih ke moda transportasi lain. Order mereka pun turun drastis," kata dia.

Ia menyarankan pemerintah sebaiknya mengajak semua pihak, termasuk aplikator dan konsumen, untuk ikut memberi masukan terhadap Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Perhubungan yang mengatur tentang tarif ojek daring sebelum akhirnya diterapkan.

Bukan cuma mendengar keinginan mitra pengemudi semata. Suara konsumen yang keberatan dengan kenaikan tarif pun perlu diakomodir agar tak menghambat perkembangan industri digital.

"Iklim usaha kondusif hanya bisa terjadi bila ada kerja sama yang saling menguntungkan. Ini perlu didiskusikan dengan semua pihak, ya pengemudi, aplikator, juga konsumen, sehingga mendapat hasil yang tepat buat semua," ujar Heru.

Selama ini, aplikator Grab menerapkan tarif batas bawahnya sebesar Rp1.200 per kilometer, adapun Go-Jek memberikan Rp1.600 untuk mitra pengemudi. Jika dibandingkan dengan tarif batas bawah baru Rp3.100 yang diformulasikan oleh Kementerian Perhubungan bersama Tim 10, artinya terjadi kenaikan sebesar dua kali lipat.

Pemerintah menargetkan RPM tersebut rampung pada Maret 2019.
Baca juga: Komunitas ojek daring meragukan kapasitas Tim 10
Baca juga: Tarif mahal ojek daring dinilai ancam elektabilitas petahana


Pewarta: Edy Sujatmiko
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019