Jakarta (ANTARA News) - Pengamat hukum properti Erwin Kallo mengatakan Peraturan Menteri dan Peraturan Gubernur tentang pengelolaan rumah susun lebih cocok diterapkan untuk rusunami.

Regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat (PUPR) No. 23/PRT/M/2018 tentang P3SRS, dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 132 tahun 2018 tentang Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun Milik.

Erwin menyebut salah satu poinnya adalah mengenai sistem pemilihan satu orang satu suara. 

“Seharusnya aturan ini untuk rusunami, karena ukuran unitnya sama semua, dan orang tidak bisa membeli lebih dari satu unit,” kata Erwin dalam keterangan yang diterima, Kamis.

Meski demikian, Erwin mengatakan rumah susun yang dimaksud dalam Permen dan Pergub adalah rumah susun komersial, yang setiap unitnya memiliki ukuran yang berbeda dan juga diperbolehkan membeli lebih dari satu unit.

“Saya punya lima unit, dan bayar kewajiban lima unit, tapi hak suaranya cuma dibatasi satu saja, tidak fair dong,” katanya.

Suara dalam hal ini adalah sistem satu orang satu suara dalam pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS).

Ia menduga aturan ini diperuntukkan mencegah developer atau pun pengelola untuk menjadi anggota P3SRS.

Namun, kata dia, langkah tersebut tidak tepa karena rumah susun komersial atau apartemen ini harus dikelola pihak yang profesional dan memiliki rekam jejak baik. 

Dengan dikelola oleh profesional, maka penghuni akan mudah melakukan penelusuran dan meminta pertanggungjawaban terhadap pengelola.

Selain itu, pengelola profesional umumnya telah memiliki standard pelayanan yang diakui secara internasional.

Beberapa standard tersebut antara lain terkait pengelolaan keamanan, kebersihan, petugas kebakaran, dan fasilitas publik.

Untuk persoalan keamanan saja, misalnya, pengelola yang profesional akan sangat memperhatikan mengenai keterlibatan petugas keamanan, pemeliharaan lift, dan sebagainya. 

Erwin menambahkan dalam sebuah kawasan apartemen yang dihuni oleh ribuan orang, wajar jika terdapat beberapa penghuni yang tidak puas.

Sayangnya, mereka yang tidak puas dan melakukan protes umumnya berasal dari penghuni yang selama ini kurang taat membayar iuran pemeliharaan lingkungan (IPL).

“Jika ada satu atau dua penghuni yang sulit bekerja sama itu sudah biasa. Penghuni apartemen itu ribuan. Banyak penghuni mayoritas yang justru senang dan nyaman,” tuturnya.

Selain itu, berdasarkan pengalaman di beberapa lokasi juga terdapat indikasi keberadaan oknum yang mengincar dana cadangan pengelolaan apartemen. Hal ini harus disikapi dengan sangat hati-hati agar tidak merugikan mayoritas penghuni yang selama ini tidak bermasalah.  

Misalnya, oknum pengelola yang membawa kabur dana cadangan dari uang iuran penghuni atau tidak melakukan pemeliharaan berbagai fasilitas secara rutin. Padahal dana cadangan tersebut biasanya dipakai untuk membiayai berbagai perawatan yang membutuhkan biaya sangat besar. Contohnya penggantian sling (wirerope) yang selama ini berfungsi mengangkat dan menahan beban lift dan berhubungan erat dengan keselamatan penghuni.

Selain itu, lanjut Erwin, pemilik memiliki kepentingan agar nilai investasi apartemennya naik terus. Jika pengembang mempunyai track record dan dikelola dengan baik, maka nilai jual apartemen atau nilai investasi pemilik apartemen juga akan terjaga.

Anggota Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Ellyzabeth CH Mailoa mengingatkan pemerintah, terutama Pemprov agar tidak salah menerapkan peraturan tersebut.

“Jangan sampai peraturan ini justru memunculkan konflik antara sebagian kelompok dan pengelola yang merugikan mayoritas penghuni yang selama ini sudah harmonis,” kata dia.

Baca juga: YLKI minta pelanggaran hak penghuni apartemen ditindak

Baca juga: Menpera: rusunami dukung program sejuta rumah

Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2019