Pergerakan yang melintasi Tol Sedyatmo tidak semua menuju ke bandara, tetapi banyak ke luar bandara
Jakarta (ANTARA) - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai tarif Jalan Tol Sedyatmo, Jakarta, belum layak dinaikkan. Tulus dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa, memaparkan Jalan Tol Sedyatmo secara empirik tidak layak lagi disebut sebagai tol bandara.

"Tol Sedyatmo semula memang didedikasikan untuk akses ke bandara, tetapi saat ini secara empirik sudah runtuh, mengingat pergerakan yang melintasi Tol Sedyatmo tidak semua menuju ke bandara, tetapi banyak ke luar bandara, seperti Cengkareng, Rawabokor, dan sekitarnya, bahkan Tangerang," katanya.

Pergerakan yang bercampur (mix traffic) inilah, menurut dia, menyebabkan akses ke bandara sering terganggu dan macet, karena terhambat pintu keluar tol di sekitar Tol Sedyatmo.

Alasan kedua, Tulus menuturkan, tata ruang dan guna lahan di sekitar Tol Sedyatmo sudah padat, dengan banyak apartemen dan perumahan baru, hotel, serta mal, sehingga berdampak kepada kelancaran Tol Sedyatmo tersebut.

Ketiga, lanjut dia, keandalan Tol Sedyatmo akan makin menurun jika kapasitas penumpang bandara semakin meningkat.

Saat ini, penumpang Bandara Soetta mencapai 65 juta lebih dan ditargetkan mencapai 100 juta pada 2025 seiring pembangunan landasan pacu ketiga dan Terminal 4 Bandara Soetta.

"Jika jumlah penumpang 100 juta ini tercapai, artinya trafik di Tol Sedyatmo akan makin padat dan keandalannya makin menurun. Artinya, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, selaku operator Tol Sedyatmo, tidak akan mampu memenuhi berbagai indikator untuk meningkatkan pelayanan yang tercakup dalam standar pelayanan mnimal (SPM) jalan tol," katanya.

Kecuali, tutur Tulus, jika pemerintah bisa memindahkan 30 persen pengguna Tol Sedyatmo menjadi pengguna KA bandara, yang sampai sekarang dinilai masih belum banyak diminati dan sepi penumpang.

"Bisa kita bayangkan jika 100 juta penumpang Bandara Soetta semuanya melintas via jalan Tol Sedyatmo," katanya.

Dengan demikian, menurut Tulus, mengacu pada kondisi empirik seperti itu, maka tarif Tol Sedyatmo tidak layak untuk dinaikkan.

Tulus menambahkan memang operator tol mempunyai hak menaikkan tarif tol per dua tahun sekali, namun, hal itu bisa dilakukan jika keandalan dan kemampuan jalan tol bisa dipenuhi, melalui SPM sebagai prasyarat untuk kenaikan tarif tol.

Tanpa adanya rekayasa lalu lintas yang mumpuni untuk mengembalikan keandalan jalan tol, menurut dia, maka kenaikan tarif Tol Sedyatmo adalah bentuk perampasan hak konsumen sebagai pengguna jalan tol.

Baca juga: Kenaikan tarif tol Prof. Dr. Ir. Soedijatmo ditunda
Baca juga: Kemahalan, Anggota DPR minta tarif jalan tol Rp1.000 per km dievaluasi
 

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2019