Kalau alam dirusak, alam juga yang akan membinasakan segala sesuatunya. Kalau itu yang terjadi, siapapun tidak bisa menghentikannya
Timika (ANTARA) - Pemuka agama Katolik di Timika, Pastor Lambert Nita OFM mengingatkan umat Katolik setempat agar mengambil hikmah dari bencana banjir bandang yang meluluhlantakan sejumlah lokasi di Kabupaten Jayapura baru-baru ini.

Berbicara di Timika, Senin, Pastor Lambert mengatakan menjaga kelestarian lingkungan sangat penting untuk menjamin manusia terhindar dari bencana alam.

"Jangan menebang pohon dan merusak hutan, tapi tanamlah pohon sebanyak-banyaknya. Kalau alam dirusak, alam juga yang akan membinasakan segala sesuatunya. Kalau itu yang terjadi, siapapun tidak bisa menghentikannya," kata Pastor Lambert.

Pastor asal Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu menyerukan agar warga Timika memiliki kepedulian terhadap kelestarian hutan, sungai beserta kelangsungan ekosistemnya yang kini terus menyusut akibat penebangan untuk kepentingan pembangunan pemukiman, perkebunan kelapa sawit, ataupun karena menjadi area pengendapan tailing PT Freeport Indonesia.

Di sebelah barat Kota Timika, ribuan hektare kawasan hutan produksi berubah fungsi menjadi area perkebunan kepala sawit yang dikelola oleh PT Pusaka Agro Lestari. Sementara di sisi timur Kota Timika, jutaan hektare kawasan hutan kini berubah menjadi padang pasir penumpukan material tailing (pasir sisa tambang) PT Freeport Indonesia.

Pasir tailing Freeport yang terus bertambah frekuensinya dari hari ke hari itu kini memicu masalah baru lantaran sungai-sungai di pesisir timur Mimika menjadi dangkal bahkan hingga pinggiran perairan Arafura, belum terhitung berapa banyak ekosistem yang hilang.

Kondisi itu, katanya, mengancam masa depan penduduk Suku Amungme dan Kamoro, dua suku asli Mimika yang kehidupannya sangat bergantung pada apa yang disediakan alam.

"Cepat atau lambat, ini akan menjadi masalah lingkungan yang sangat besar di Mimika sehingga mengancam keberadaan dan kelangsungan warga suku Amungme dan Kamoro ke depan," kata Pastor Lambert.

Tokoh masyarakat Mimika Athanasius Allo Rafra sependapat dengan Pastor Lambert Nita bahwa berbagai bencana alam yang terjadi di Tanah Air khususnya di wilayah Papua hendaknya menyadarkan warga agar tidak serakah merusak hutan dan lingkungan tempat tinggal mereka.

"Saya hampir 30 tahun bermukim di Jayapura. Baru kali ini terjadi bencana alam yang begitu dahsyat terjadi di wilayah Sentani, Doyo dan sekitarnya karena kawasan hutan Cyclop yang merupakan hutan adat orang Sentani kini kondisinya rusak parah," tutur Allo Rafra, mantan Penjabat Bupati Mappi dan Mimika itu.

Ia menilai kerusakan parah terhadap kondisi hutan lindung Cyclop terjadi karena aktivitas penebangan luar biasa oleh orang-orang dari wilayah pegunungan Papua yang membuat kebun, pemukiman dan aktivitas ekonomi dan sosial lainnya di sepanjang lereng pegunungan Cyclop tersebut.

"Orang asli Sentani dan Jayapura tahu bagaimana menjaga dan merawat hutan adat mereka, tapi ketika datang orang-orang dari pegunungan itu, mereka tidak mau tahu. Mereka masuk seenaknya menebang hutan dan pohon untuk dijadikan kebun tanpa permisi dengan tuan tanah," katanya.

Orang-orang ini harus dikembalikan ke kampung halaman mereka. Ini tanggung jawab bupati di wilayah pegunungan untuk mengembalikan warga mereka,kata Allo Rafra yang juga pernah menjabat Kepala Biro Tata Pemerintahan Setda Papua itu.

Hingga Senin ini, tercatat sudah 105 jenazah korban bencana banjir bandang di Kabupaten Jayapura telah ditemukan oleh tim relawan, dimana 97 jenazah telah dikirim ke RS Bhayangkara Jayapura dan baru 75 jenazah diantaranya telah teridentifikasi.

Bencana banjir bandang tersebut juga berdampak terhadap 11.725 Kepala Keluarga yang bermukim di Distrik Sentani, Waibu dan Sentani Barat dan hingga kini sebanyak 4.491 warga masih bertahan di sejumlah posko pengungsian di Kabupaten Jayapura.

Baca juga: Gereja terendam banjir, jemaat Kampung Putali ibadah di atas perahu

Baca juga: 74 korban banjir Sentani yang teridentifikasi kembali diumumkan

Pewarta: Evarianus Supar
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019