Surabaya (ANTARA) - Rutinitas santri dan para ustaz di Ponpes Lirboyo Al-Mahrusiyah III yang berlokasi di Kelurahan Ngampel, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, Jawa Timur, itu jauh dari gegap gempita pesta demokrasi lima tahunan.

Tidak terlihat alat peraga kampanye (APK) di kawasan sekitar pondok pesantren yang didirikan oleh KH. Abdul Karim pada tahun 1910 M itu. Hanya ada beberapa APK milik caleg maupun capres yang berada di perkampungan, jauh sebelum pintu masuk pondok.

Mungkin sudah lumrah karena pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tentunya tidak diperkenankan melalukan aktivitas politik atau memasang APK di lingkungan pesantren menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.

Meski demikian, ada pemilih pemula potensial di dalam ponpes yang terletak di lembah Gunung Willis, Kota Kediri itu. Para santri yang berusia 17 tahun ke atas di pondok pesantren mempunyai hak pilih yang perlu difasilitasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat.

Tentunya dibutuhkan kerja sama yang baik di antara pengasuh atau pengurus pondok pesantren dengan penyelenggara pemilu setempat agar para santri tidak ketinggalan hak pilihnya. Hal ini juga diharapkan bisa mencegah adanya golput di lingkungan pesantren.

Sosialisasi seputar Pemilu 2019 juga perlu dilakukan agar para santri paham pada saat pencoblosan. Hal ini penting karena pemilu kali ini berbeda dengan sebelumnya. Pemilu kali ini merupakan penggabungan pemilihan calon anggota DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, DPD dan DPR RI bersamaan dengan Pemilihan Presiden RI. Bisa dikatakan pemilu kali ini sedikit agak rumit karena warga harus mencoblos lima kertas suara secara bersamaan.

Meski demikian, semua pihak berharap pemilu kali ini bisa lebih ramai atau semarak di tiap-tiap lingkungan masyarakat. Tidak hanya soal ramainya kampanye para caleg dan capres, melainkan bagaimana masyarakat bisa menggunakan hak pilihnya dan mengetahui siapa-siapa calon wakil rakyat dan calon presiden yang dipilihnya.
 
Baca juga: Ponpes bebaskan pilihan santri dalam Pemilu

Mengetahui bukan sekedar tahu siapa capres dan calon wakil rakyat sebatas di permukaan, melainkan tahu visi dan misi serta program dan gagasan apa yang akan ditawarkan kepada publik untuk membangun bangsa dan negara ini, menjadi lebih baik.

Salah seorang santri kelas 3 SMK Al-Mahrusiyah asal Pekalongan, Andik mengatakan ingin sekali menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2019. Hanya saja, ia mengaku belum memiliki KTP sebagai persyaratan mengurus pindah memilih atau formulir A5 agar bisa mengikuti Pemilihan Umum 2019.

"Rencannya kalau diizinkan, saya nyoblos di rumah. Kebetulan pada saat pencoblosan sudah selesai ujian. Tapi saya belum punya KTP," kata santri berumur 19 tahun ini saat ditemui Antara di Ponpes Al-Mahrusiyah, beberapa waktu lalu.

Namun jika tidak libur, ia berharap pihak pondok pesantren menguruskan pindah pilih agar bisa mencoblos di tempat pemungutan suara (TPS) yang ada di kawasan pondok pesantren. Baginya bisa mencoblos di Pemilu 2019 merupakan pengalaman pertamanya.

Baca juga: Mengharapkan presiden yang Pancasilais
 
Santri antusias mendatangi Posko Layanan Pindah Memilih di Pondok Pesantren Lirboyo agar mereka tetap bisa menggunakan hak pilih dalam Pemilu 2019. (Prasetia Fauzani )


Soal figur dari calon wakil rakyat yang akan dicoblos, ia mengaku belum banyak mengetahuinya karena selama ini jarang pulang ke kampung halamannya. Namun berbeda halnya dengan sosok dua calon presiden dan dua calon wakil presiden yang sudah diketahuinya melalui berita yang ada di koran, media daring maupun televisi.

Hal sama juga dikatakan santri kelas 3 SMK lainnya asal Palembang, Fajar. Meski umurnya hendak beranjak ke 17 tahun menjelang pemilu mendatang, namun ia berharap bisa mencoblos di kampung halamannya. Hanya saja saat pencoblosan pihak pondok belum meliburkan para santri sehingga ia berharap bisa dibantu mengurus pindah pilih agar bisa mencoblos TPS di kawasan pondok.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mahrusiyah III Ngampel KH. Melvien Zainul Asyiqien yang kerap dipanggil Gus Iing mengatakan ada sekitar 600 pemilih pemula potensial yang berstatus pelajar kelas 2-3 SMK/MA dan mahasiswa. Mayoritas para santri tersebut berasal dari luar daerah, seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan, Sumatera dan bahkan dari Papua.

"Kalau warga asli atau pribumi kota sangat sedikit di sini. Kalau di pondok sini yang sekolah di SMK saja 1 banding 10," kata Gus Iing saat ditemui Antara di kediamannya.

Mengenai pesta demokrasi di pondok pesantren, Gus Iing mengatakan bahwa pihak KPU Kota Kediri sudah meminta sosialisasi ke sekolah. Hanya saja, ia menyarankan agar sosialisasi tidak di sekolah, melainkan di pondok saja.

Hal ini dikarenakan kalau sosialisasi di sekolah hanya ada siswa saja, namun kalau di pondok selain siswa, banyak mahasiswa yang juga punya hak pilih. Kebanyakan santri yang sudah cukup umur belum memiliki KTP sebagai syarat untuk mengurus pindah pilih. Meski demikian, pihak pondok menyarankan bagi santri yang punya hak pilih bisa mengurus fromulir A5 atau pindah pilih dengan kartu keluarga (KK).

"Kami usahakan agar orang tua santri mengirim KK agar santri bisa menyalurkan aspirasinya pada saat coblosan," kata Gus Iing yang juga Kepala SMK Al-Mahrusiyah ini.

Selain itu, pihak pondok juga sudah konsultasi ke KPU Kota Kediri terkait pindah pilih para santri. KPU sendiri juga sudah meminta data santri yang mempunyai hak pilih agar masuk pendataan daftar pemilih tetap tambahan (DPTb) dalam Pemilu 2019.

Hanya saja, menurut Gus Iing, jumlah santri yang masuk DPTb hanya sekitar 25 orang, padahal yang punya hak pilih jumlahnya ratusan orang. Pada saat didatangi petugas panitia pemungutan suara (PPS), ia sempat mempertanyakan hal itu. Namun dari pihak KPU setempat meminta pihak pondok menyerahkan data santri yang belum masuk DPTb agar bisa diproses.

Apalagi, kata dia, pada 17 April itu di pondok masih belum libur karena masih ada kegiatan atau ujian sehingga partisipasi santri yang menggunakan hak pilihnya di pondok pesantren bisa dikatakan tinggi.

Gus Iing berharap ada TPS khusus di Ponpes Al-Mahrusiyah III saat pelaksanaan pemilu mendatang. Namun jika itu tidak bisa, Gus Iing tidak mempermasalahkannya, karena mungkin santri bisa ikut nyoblos di TPS terdekat dengan pondok. Hal ini menyusul pada pemilu yang lalu sempat di tiap-tiap pondok dibuatkan TPS khusus, namun kemudian dipecah dan digabung dengan TPS di sekitar pondok.

Mengenai sosialisai, Gus Iing menyebut sosialisasi yang dilakukan KPU di kalangan santri di pondok pesantren terkait tata cara teknis mencoblos minim. Untuk itu, ia berharap pihak penyelenggara pemilu lebih mengoptimalkan sosialisasi tidak hanya di pesantren yang ada di Kediri melainkan pesantren lain di Indonesia.

"Kalau soal figur capres, santri sudah banyak yang tahu. Meski para santri kelihatannya terkungkung, tapi informasi seperti itu tidak ketinggalan," katanya.

Baca juga: Kucuran keringat para ibu sukseskan pemilu di Singapura

Saat ditanya soal pengarahan dari pengasuh untuk memilih salah satu capres tertentu, Gus Iing lebih membebaskan para santrinya. Ia membebaskan para santri memilih capres sesuai hati nuraninya. Hanya saja, Ponpes Lirboyo induk saat ini sudah menyatakan sikap mendukung salah satu capres-cawapres.

Begitu juga dengan maraknya berita hoaks atau kabar bohong, para santri di Ponpes Lirboyo yang jumlahnya total sekitar 25 ribu orang tidak terpengaruh. Bahkan sangat sedikit informasi dari luar ke pondok pesantren. Namun jika mendengar kabar hoaks, biasanya para santri tabayyun atau meneliti dulu dengan bertanya kepada kiai atau pengasuh serta para guru yang ada di pondok.

Setiap belajar atau mengaji kitab, para pengasuh maupun guru sering menyampaikan soal itu. Intinya setiap ada kabar yang belum jelas asal-muasalnya jangan sampai terbawa. Apalagi mendapat kabar dari orang yang tidak kenal dan tidak jelas.

Untuk mengantisipasi itu, para santri dilarang membawa gawai atau telepon seluler. Untuk gawai batasannya hanya para santri senior yang sudah mendapat izin dari pengasuh, sedangkan kalau santri baru tingkatan SMP, SMK, MA tidak diperbolehkan.


Partisipasi tinggi
Santri menunjukkan surat Daftar Pemilih Tambahan yang didapatnya setelah melapor ke Posko Layanan Pindah Memilih di Pondok Pesantren Lirboyo. (Prasetia Fauzani)


Baca juga: Merawat demokrasi di puncak Bromo

Seperti pemilu-pemilu sebelumnya, tingkat partisipasi pemilih pemula di Ponpes Lirboyo secara keseluruhan termasuk tinggi. Bahkan berdasarkan rekapitulasi KPU Kota Kediri yang sudah masuk daftar pemilih tetap tambahan (DPTb) atau pindah pilih Pemilu 2019 untuk tahap pertama berjumlah 7.232 pemilih. Dari jumlah tersebut pemilih dari Ponpes Lirboyo paling banyak sekitar 5.004 orang.

"Ini masih berlangsung untuk tahap kedua yang akan ditutup pada 17 Maret," kata komisioner KPU Kota Kediri Divisi Perencanaan Data dan Informasi, Anis Iva Permatasuri.

Menurut dia, pihaknya sudah melaksanakan sosialisasi ke sejumlah tempat yang mempunyai potensi DPTb tinggi, salah satunya adalah pesantren, kampus, sekolah dan lembaga kemasyarakatan (lapas).

Ia menjelaskan pengurusan DPTb terbagi dua tahap, yakni tahap pertama yang dilakukan pada 17 Februari dan pengurusan DBTb tahap kedua ditutup pada 17 Maret. Pada periode pertama, KPU memaksimalkan untuk pelayanan DPTb untuk daerah yang terkonsentrasi yang memungkinkan penambahan TPS berbasis DPTb di pondok pesantren yang santrinya berjumlah besar.

Adapun ponpes besar, meliputi Ponpes Lirboyo yang memiliki 11 unit ponpes, Ponpes Walibarokah, Ponpes Al Ma'ruf, Ponpes Kedunglo, Ponpes Salafiyah dan Al-Islah. "Ponpes besar itu yang menjadi sasaran jemput bola pelayanan DBTb," katanya.

Hasil rekapitulasi pengurusan DPTb tahap pertama di lingkungan pondok pesantren ada sekitar 7.232 pemilih yang akan menggunakan hak pilih di Kota Kediri. Sedangkan pemilih Kota Kediri yang menggunakan hak pilih di luar Kediri berjumlah 209 orang. Dengan demikian, KPU akan menambah 25 TPS khusus berbasi DPTb tersebar di masing-masing kecamatan.

Khusus di Ponpes Lirboyo sendiri ada sekitar 5.004 pemilih yang akan menggunakan hak pilihnya. Untuk itu, KPU Kediri akan membuat sekitar 17 TPS khusus di lingkungan Ponpes Lirboyo.

Mengenai tingkat partisipasi pemilih di pesantren, Anis mengatakan partisipasi cukup tinggi jika dilihat pengurusan DPTb juga tinggi. Hal ini dikarenakan sejak awal para santri sudah punya niat untuk milih dengan mau mengurus DPTb.

"Apalagi santri di Lirboyo tidak diliburkan pada saat hari H. Tentunya ini yang membuat tingkat partisipasi di ponpes tinggi," katanya. (*)

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019