Ambon (ANTARA) - Perjuangan perempuan Indonesia terhadap persamaan hak dan perlakuan, termasuk akses pendidikan yang lebih tinggi telah lama dilakukan, salah satunya oleh Raden Ajeng Kartini di masa prakemerdekaan 

Seolah perjuangan itu belum selesai, apa yang dilakukan Raden Ajeng Kartini masih diteruskan oleh banyak kaum perempuan Indonesia masa kini. Mereka bersuara dan berjuang untuk akses di semua lini yang lebih baik bagi sesamanya.

Adalah Elvira Marlien Marantika atau akrab disapa Vivi, perempuan dari suku Kuralele, Maluku, yang bekerja mengorganisir perempuan adat di kelompok akar rumput melalui Yayasan Himpunan Maluku Untuk Kemanusiaan (HUMANUM).

Selama hampir 18 tahun lamanya Vivi mendedikasikan hidupnya sebagai "suara perempuan adat" melalui isu pembangunan masyarakat adat, baik dari aspek sosial, budaya, politik dan kepemimpinan adat.

Atas upayanya tersebut, Vivi menjadi salah satu dari tiga delegasi Indonesia dalam Konferensi Masyarakat Adat Sedunia (United Nations World Conference on Indigenous Peoples - WCIP) yang diselenggarakan oleh PBB di New York - Amerika Serikat, pada 22 - 23 September 2014.

"Sebagai sesama manusia, perempuan adat memiliki hak yang sama untuk bersuara dan akses terhadap pendidikan yang lebih tinggi, tapi sampai hari ini kita masih ada dalam masalah ketika perempuan bicara tentang ketidakadilan," kata ibu tiga anak tersebut, Minggu.

Dilahirkan di Ambon pada 31 Maret 1974, Vivi adalah lulusan Teknik Perkapalan Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon dan sekarang menjabat sebagai Direktur HUMANUM.

Ia mengatakan perempuan adat memiliki beban ganda, yakni sebagai masyarakat adat dan juga sebagai perempuan yang terikat dengan adat dan budaya yang seringkali membatasi mereka untuk menyuarakan hak dan kepentingan mereka sendiri.

Dalam konteks masyarakat adat, perempuan selalu menjadi orang kedua yang dipilih ketika tidak ada pilihan lainnya, salah satunya mencakup akses untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.

"Pendidikan bagi perempuan adat menjadi tantangan yang tidak mudah. Akses pendidikan masih sangat sedikit, bahkan ketika memilih untuk mendapatkan pendidikan tinggi, seringkali mereka menjadi pilihan kedua bagi keluarganya," ujar Vivi.

Di Maluku, kata Vivi, potret ketidakadilan terhadap perempuan adat masih sangat terlihat. Hampir semua desa adat yang ada masih sangat minim perempuan duduk di kelembagaan adat, padahal mereka juga perlu bersuara terhadap kepentingan gendernya.

Tidak hanya soal pendidikan dan pengetahuan, banyak perempuan adat di Maluku tidak memiliki akses terhadap pemberdayaan diri dan pola hidup yang lebih baik.

Ia memisalkan akses terhadap sanitasi, air bersih yang penting bagi kesehatan reproduksi perempuan juga perlu dibicarakan di kalangan masyarakat adat. Sayangnya di tingkat kelembagaan adat keputusan-keputusan tersebut lebih banyak dilakukan oleh kaum pria.

Karena itu Vivi berharap pemerintah lebih memperhatikan pembangunan dan pemberdayaan perempuan adat, termasuk hak hidup yang layak sama halnya dengan perempuan Indonesia modern lainnya.

"Pendidikan dan akses terkait kesehatan reproduksi bagi perempuan adat adalah tanggung jawab negara, melindungi membangun akses terhadap kehidupan yang lebih baik bagi perempuan adat," ujar Vivi.*


Baca juga: Perempuan penjaga alam

Baca juga: Emansipasi di Papua diakui terus meningkat


 

Pewarta: Shariva Alaidrus
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019