Pendekatan tata kelola yang selama ini dijalankan harus diimbangi dengan tata niaga karena sesungguhnya penempatan PMI tidak sekadar menyiapkan tenaga kerja berkualitas, tetapi juga erat hubungannya dengan bisnis yang menekankan pada efisiensi.
Kuala Lumpur (ANTARA) - Pembenahan tata niaga penempatan pekerja migran (PMI) sudah menjadi prasyarat untuk menghasilkan tenaga berkualitas, sistem yang efisien, transparan dan menghemat anggaran belanja negara.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa TKI (Apjati) Ayub Basalamah di Kuala Lumpur, Rabu (17/7), menyatakan pendekatan tata kelola yang selama ini dijalankan harus diimbangi dengan tata niaga karena sesungguhnya penempatan PMI tidak sekadar menyiapkan tenaga kerja berkualitas, tetapi juga erat hubungannya dengan bisnis yang menekankan pada efisiensi dan efektifitas.

Dia mencontohkan penempatan ke Malaysia, data di Inddonesia menyatakan sekitar 2000-3000 PMI yang bekerja ke Malaysia setiap bulannya. Namun, jika ditilik di data Malaysia sekitar 6000-7000, dan data di Imigrasi Malaysia bisa hingga 15.000 WNI yang masuk ke negeri jiran tersebut.

Mudahnya pekerja masuk ke negeri semenanjung tersebut juga menambah kompleksitas program penempatan. Kondisi terakhir, kasus semakin banyak, majikan mengeluhkan loyalitas PMI yang acap kabur sebelum kontrak dua tahun habis, bahkan dalam kurun 2-3 bulan sudah kabur, sementara mereka sudah membayar fee 18.000 ringgit (Rp59 juta) kepada agen.

Ayub menyatakan hukum globalisasi sudah berlaku dalam penyediaan jasa tenaga kerja, yakni siapa yang berkualitas, sistem yang efisien dan transparan yang akan dipakai pengguna (user).

Baca juga: Apjati dorong pemerintah capai taget 70.000 PMI ke Jepang

"Kita tidak bisa lagi akal-akalan (tricky), mengirim pekerja tidak berpendidikan, tidak trampil (unskill), tidak sehat (unfit), dengan sistem yang rumit dan tidak transparan," ujar Ayub. 

Pengusaha yang sudah berkecimpung dalam penempatan tenaga kerja Indonesia selama 30 tahun lebih itu mengatakan bahwa Indonesia harus melakukan pembenahan ke dalam, dimulai dari pelaku (pengusaha), tenaga kerja, pemerintah dengan perangkat hukumnya dan sistem yang transparan.

Dia memahami pernyataan keras Dubes RI untuk Malaysia, Rusdi Kirana yang mengancam akan menutup sementara (moratorium) penempatan ke Malaysia karena masih terjadi pemotongan gaji PMI 3-6 bulan dan fee yang dibayar majikan terlalu besar, lalu PMI masih kabur.

Rusdi mengatakan biaya penempatan terlalu besar sehingga sebagian menjadi beban PMI melalui pemotongan gaji yang dinilainya tidak manusiawi. "Ayo, Apjati jika bisa memecahkan masalah ini saya akan dukung 100 persen. Saya akan berdiri di depan meyakinkan pemerintah Kerajaan Malaysia bahwa pekerja Indonesia masih yang terbaik."

Baca juga: Apjati sebut sistem satu kanal lindungi pekerja Indonesia di Saudi

Tidak hanya itu, Rusdi juga akan meyakini pemerintah Indonesia untuk mendukung penempatan PMI ke Malaysia. Data menyebutkan total devisa (remitensi) yang tahun 2018 mencapai Rp153 triliun lebih dan 45 persen lebih masih dari timur tengah.

Ayub menyatakan potensi ini harus dikelola dengan baik. Apjati memperkenal apjatigo.my untuk penempatan ke Malaysia yang menjadi semuanya tertata dalam satu pintu.

Aplikasi ini akan memangkas biaya tidak perlu karena ramah pada sistem yang diberlakukan Pemerintah Kerajaan Malaysia. "Kita mengedepankan kualitas melalui sistem pelatihan (kompetensi dan sertifikasi), pemeriksaan kesehatan, dan terbuka," ujar Ayub.

Sistem ini juga yang akan diberlakukan pada penempatan lain, baik di Asia Pasifik maupun Timur Tengah. Apjati sudah melakukan pembicaraan dengan mitranya di luar negeri dan Ayub berharap dukungan pemerintah untuk mewujudkan enam program Presiden ke depan yang mendorong penempatan berkualitas, berkembangnya pemasaran (market place) yang berorientasi ekspor dan menumbuhkan kewirausahawan.*

Baca juga: Apjati duga VFS proses calon PMI ilegal ke Saudi

Pewarta: Erafzon Saptiyulda AS
Editor: Ridwan Chaidir
Copyright © ANTARA 2019