Palu (ANTARA) - Beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Sulawesi Tengah mengemukakan penyebab utama terjadinya banjir bandang di Kabupaten Banggai, disebabkan adanya kegiatan eksploitasi sumber daya alam.

"Banjir yang terjadi di dataran Toili Kabupaten Banggai adalah imbas dari menurunnya daya dukung lingkungan akibat masifnya pemberian izin eksploitasi sumber daya alam di Sulawesi Tengah. Salah satunya di Banggai," ucap Manager Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Sulteng, Stevandi, di Palu, Minggu.

Berdasarkan data Walhi Sulteng, saat ini luasan perkebunan sawit telah mencapai 591 ribu hektare dan pertambangan telah mencapai 2 juta hektare dari total luas Sulawesi Tengah. Dua sektor ini telah menguasai ruang di Sulawesi Tengah mencapai 44 persen.

"Banjir bandang yang terjadi di Toili pada 18 Juli 2019 adalah bagian yang tidak terpisahkan dari lajunya pembukaan lahan untuk aktivitas perkebunan dan pertambangan," kata dia.

Selanjutnya, sebut Koko sapaan akrab Stevandi, data Komunitas Muda Peduli Hutan (Komiu) Sulteng, saat ini deforestasi hutan di Sulteng mencapainya 1.300 hektare perbulan. Kemudian sejak tahun 2000 hingga tahun 2018, deforestasi hutan di kabupaten Banggai telah mencapai 88.740,54 hektare.

"Alhasil laju deforestasi tersebut telah melahirkan berbagai persoalan salah satunya banjir yang terjadi di Toili," ujar dia.

Selain Walhi, empat LSM di Sulteng mendesak pemerintah mencabut izin usaha perkebunan dan pertambangan yang ada di Banggai.

Mereka ialah, Eva Susanti Bande yang merupakan aktivis agraria peraih penghargaan Yap Tian Hien Award 2019. Kemudian Ketua KPW PRD Sulteng Adi Prianto, Direktur Celebes Institute Adriani Badra, Ketua PMP Sulteng Azman Asgar.

"Kalau diperhatikan, bencana alam seperti banjir banyak terjadi di daerah yang memiliki konsesi pertambangan atau perkebunan skala besar, satu sisi rezim izin tata ruang bukan lagi bertujuan untuk pembatasan atau pengendalian, sekarang ini berorientasi pada pendapatan daerah. dampak buruknya seperti itu, seperti yang kita lihat di Toili sekarang ini, banjir bandang menyapu bersih datara Toili," sebut Ketua KPW PRD Sulteng Adi Prianto, di Palu, Minggu.

Empat LSM tersebut mengatakan terdapat dua pihak yang harus bertanggungjawab atas dampak dari murkanya alam dia datara Toili Banggai.
Pertama, pemerintah yang telah memberi izin perkebunan kelapa sawit kepada korporasi. Kedua, adalah PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) yang diberi izin kuasa eksploitasi dengan SK HGU No 15/HGU/1991 Badan Pertanahan Nasional pada 2 Oktober 1991.

"Perusahaan brutal. Pohon sawit bahkan di tanam di bantaran sungai. Hutan Suaka Marga Satwa Bangkiriang dibantai pula oleh perusahaan ini," kata Aktivis Agraria Eva Bande.

Tak puas dengan kebrutalan itu, urai Eva Bande, anak perusahaan PT KLS, PT Berkat Hutan Pusaka (BHP), mengantongi proyek HP HTI dari Menteri Kehutanan RI No 146/kpts-II/1996 seluas 13.400 hektare area. Sebagian besar areal ini telah dialihfungsi oleh PT BHP menjadi perkebunan kelapa sawit.

"Atas peristiwa ini, maka wajib bagi pejuang lingkungan dan rakyat menuntut pertanggungjawaban pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten serta perusahaan atas kerusakan alam dan kerugian rakyat," sebut Eva.
Baca juga: Empat kecamatan di Banggai diterjang banjir
Baca juga: Masih bertahan di pengungsian sebagian korban banjir Banggai
Baca juga: Aktivis : Pemerintah-Korporasi harus tanggungjawab banjir di Banggai

Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2019