Kupang (ANTARA) - Sejak memasuki musim panas 2018, sebagian perkampungan adat yang menyebar di Pulau Flores dan Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), terbakar, namun tidak diketahui dari mana sumber apinya.

Semua kisah yang dialami, hanyalah misteri belaka. Ada yang menduga karena hubungan arus pendek listrik, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa apinya muncul secara tiba-tiba dan langsung melahap semua bangunan perkampungan adat yang ada.

Kobaran api semakin sulit dipadamkan, karena atap dari perkampungan adat itu umumnya dari ilalang. Semua ludes terbakar seperti dalam kisah kebakaran yang dialami perkampungan adat Nggela di Kecamatan Wologita, Kabupaten Ende, Pulau Flores pada 29 Oktober 2018.

Sebanyak 21 bangunan rumah adat dalam perkampungan itu ludes terbakar dan rata dengan tanah. "Ada 31 unit rumah yang lenyap terbakar, terdiri 21 rumah adat dan 10 rumah warga. Semuanya tak bisa diselamatkan," kata Kepala Desa Nggela, Vinsensius Beo pada saat itu.

Lalu, dari mana sumber api yang mengakibatkan satu perkampungan adat Nggela itu ludes terbakar. "Sumber apinya berasal dari satu rumah warga yang seketika membesar dan menyambar dengan cepat bangunan lain di sekitarnya," ujar Vinsensius.

"Entah sumber api itu dari korsleting listrik atau apa kami juga belum tahu, karena kobarannya tiba-tiba saja muncul dan membesar," katanya seraya menambahkan bahwa sampai sejauh ini, dirinya bersama warga setempat belum juga mengetahui secara persis sumber api yang menghanguskan sejumlah perkampungan adat yang terjadi sepanjang musim panas 2018 sampai sekarang.

Jauh sebelum peristiwa itu datang menimpa kampung adat Nggela di Kabupaten Ende, di Kabupaten Sumba Barat di Pulau Sumba, NTT, juga masih kesulitan mengungkap kisah terbakarnya perkampungan adat Tarung yang menghabiskan 28 rumah adat dan dua rumah ibadah milik kepercayaan Marapu.

Namun, kepolisian Sumba Barat menduga terbakarnya 28 rumah adat serta dua rumah ibadah kepercayaan Marapu di Kampung Adat Tarung itu akibat hubungan arus pendek listrik, berdasarkan hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) di lapangan pada saat itu.

Dugaan tersebut diperkuat lagi dengan keterangan beberapa saksi mata yang menyebutkan bahwa awal mula asap itu berasal dari salah rumah besar atau rumah saudara tertua dari masyarakat yang tinggal di kampung adat tersebut.

Menurut salah seorang saksi mata, Nissa Lado, awal mula kobaran api tersebut berasal dari rumah milik Welem Wolu sekitar pukul 16.00 WITA. Para tetangga sekitarnya berusaha untuk memadamkan api tersebut, namun tidak berhasil karena rumah adat di kampung itu umumnya beratap ilalang sehingga dengan cepat dilalap si jago merah.

Sebanyak 274 kepala keluarga di kampung adat itu telah kehilangan tempat berteduh, dan mengalami kerugian bernilai miliaran rupiah. "Saya kurang tahu persis berapa jumlah kerugiannya. Tetapi saya prediksi bisa mencapai miliaran rupiah, karena semua harta milik warga tak ada yang bisa diselamatkan," kata Bupati Sumba Barat Niga Dapawole.

Dunia pariwisata di Nusa Tenggara Timur, benar-benar mengalami cobaan hebat. Setelah beberapa kasus kebakaran sejumlah rumah adat itu terjadi, peristiwa yang sama juga menimpa perkampungan adat megalitikum Gurusina di Kabupaten Ngada.

Sebanyak 33 rumah adat yang materialnya terbuat dari kayu, bambu, dan ilalang di perkampungan adat Gurusina itu ludes terbakar. Semuanya rata dengan tanah. Perkampungan adat megalitikum itu, konon merupakan yang paling tua di Pulau Flores. Kini, semuanya hanya tinggal kenangan.


Aspek 5A

Tak ada yang bisa memastikan sebab-sebab terjadinya kebakaran tersebut, namun diduga kuat karena hubungan arus pendek listrik. Desa adat yang banyak menyimpan nilai-nilai sejarah itu, banyak dikunjungi wisatawan asing dan domestik, meski pamornya masih kalah dengan perkampungan adat Bena yang terus dibanjiri wisatawan.

Di desa itu, demikian pun dengan desa-desa adat lainnya, tidak menyediakan penginapan untuk para tamu. Jadi traveler yang datang ke sana akan menginap bersama warga setempat. Pengunjung biasanya tertarik dengan arsitektur bangunan di Gurusina, sekaligus menikmati pemandangan alam yang indah di sekitarnya.

Wajar saja karena desa itu terletak di kaki Gunung Inerie yang berbentuk kerucut nan indah, sehingga menggoda dan memanjakan wisatawan untuk menikmati keindahan alam dari balik bangunan yang serba alamiah itu. Namun, semuanya telah berubah ketika kebakaran datang menyerang desa adat tersebut.

Kisah kebakaran yang menimpa sejumlah rumah adat di NTT itu nyaris sirna sepanjang tahun ini, namun datang lagi kabar buruk yang menimpa perkampungan adat Ubu Bewi di Desa Taramanu, Kecamatan Wanokaka, Kabupaten Sumba Barat, Kamis (25/7) siang.

Walaupun hanya tiga rumah adat yang menjadi sasaran si jago merah, kisah kebakaran tersebut seakan memberi isyarat bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam mengurus dan mengatur tatanan rumah adat tersebut, entah dalam bentuk upacara adat atau apapun bentuknya sebagai tolak bala.

Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif NTT Wayan Darmawa mengatakan tiga rumah adat yang terbakar itu merupakan pusat ritual kegiatan Pasola (atraksi berkuda) yang selama ini digelar di Kecamatan Wanokaka, Kabupaten Sumba Barat.

Untuk itu, pemerintah provinsi langsung menindaklanjuti dampak peristiwa tersebut dengan memberikan bantuan melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat. "Ada dana talangan darurat dari provinsi untuk membantu korban yang kehilangan rumah adat tersebut," kata Wayan.

Wayan Darmawa berkomitmen bahwa pemerintah Provinsi NTT akan segera memperbaiki rumah-rumah adat yang terbakar itu, dengan alokasi dana untuk tiap kabupaten sebesar Rp270 juta. "Pembenahan rumah adat ini difokuskan untuk meningkatkan aspek 5A yaitu atraksi, aktivitas, aksesibilitas, akomodasi, dan amenitas," katanya.

Pembenahan aspek 5A ini untuk memastikan agar objek-objek wisata tersebut siap dan layak dikunjungi untuk tujuan wisata maupun lainnya. "Karena itu tahun ini kita mulai melakukan perbaikan terutama infrastruktur penunjang dengan tetap mempertahankan unsur keaslian dan keunikan budaya," katanya menjelaskan.


Harus dilestarikan

Kebijakan pemerintah Provinsi NTT untuk melestarikan kembali desa adat yang bernasib malang itu adalah sebuah keharusan, sebab desa adat kental dengan budaya tradisional yang harus dilestarikan. "Ini adalah identitas kita (Indonesia), jangan sampai tergerus dan punah," kata mantan Menteri Desa dan PDTT Marwan Jafar.

Marwan Jafar menyadari bahwa upaya untuk melestarikan kekayaan adat dan budaya desa itu menjadi hal yang penting agar tidak terkikis zaman. Terlebih dalam era digital saat ini, masyarakat desa, terutama remaja dan pemuda rentan mendapat pengaruh budaya asing.

Semua pihak terkait perlu dilibatkan dalam melestarikan dan menjaga desa adat. Salah satu yang bisa dilakukan adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) masyarakat adat. Melalui berbagai pelatihan, masyarakat adat tersebut akan diberikan pengetahuan lebih luas terkait budaya.

Mereka juga diajari untuk dapat mengembangkan desa tanpa mengesampingkan keberadaan adat-istiadat desa.

Baginya, desa adat memiliki potensi besar di bidang pariwisata. Dengan adanya beragam budaya yang sangat kental di desa-desa itu bisa dikembangkan dan dipromosikan sehingga dapat menarik wisatawan. "Tinginya potensi ekonomi desa adat dapat meningkatkan perekonomian desa," ujarnya.

Masyarakat adat yang memiliki rumah-rumah adat tersebut tampaknya sudah sangat memahami makna dibalik kasus kebakaran tersebut, sehingga mereka harus melangkah kembali dengan memulai yang baru untuk tetap mempertahankan warisan adat dan budaya nenek moyang lewat simbol rumah adat tersebut.*

Baca juga: Tiga rumah di Kampung Adat Ubu Bewi Sumba Barat terbakar

Baca juga: Pemerintah bangun 39 rumah untuk komunitas adat di Sikundo, Aceh Barat

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019