Jakarta (ANTARA) - Konsultan hukum, Ary Zulfikar berpandangan tafsir dari undang-undang tindak pidana korupsi (tipikor) terlalu luas sehingga dikhawatirkan akan mengganggu jalannya tugas dan fungsi pimpinan Badan Usaha Milik Negara.

"Mereka (pimpinan BUMN) berpotensi terjerat kasus hukum, hanya karena penegak hukum terlalu luas menafsirkan pasal-pasal dalam undang-undang tipikor," kata Ary di Jakarta, Senin malam.

Ary Zulfikar yang kerap bertindak selaku pengacara dalam sejumlah kasus hukum yang melibatkan pimpinan BUMN dengan UU Tipikor menjelaskan kalau aparat penegak hukum selalu mengaitkan kekayaan negara termasuk aset atau kekayaan yang dimiliki, baik di BUMN maupun di anak perusahaan BUMN, sehingga jika ada kerugian di level BUMN maupun di level anak perusahaan BUMN, dianggap sebagai kerugian negara.

Namun, di sisi lain tafsir aset BUMN/anak perusahaan BUMN agak berbeda, jika berbicara tentang kewajiban atau hutang BUMN/anak perusahaan BUMN, kita tidak pernah mendengar istilah bahwa utang BUMN/anak perusahaan adalah utang/kewajiban negara atau pemerintah, ungkapnya.

Dengan kondisi demikian, dia menilai analogi aset BUMN adalah aset negara menjadi tidak relevan. Negara hanya memiliki saham pada BUMN yang dicatat sebagai kekayaan negara.

"Jadi negara hanya sebagai pemilik saham. Jika terkait dengan kekayaan BUMN, maka yang dilakukan oleh direksi BUMN tentunya dalam bingkai undang-undang perseroan terbatas," ujar Ary.

“Jika Direksi BUMN telah menjalankan tugas dan fungsinya dengan itikad baik, dan menjalankan good corporate governance sesuai dengan fiduciary duty sebagai direksi, maka yang bersangkutan tidak bisa dikriminalkan,” jelasnya.

Sedangkan jika ternyata jajaran direksi suatu BUMN tidak menjalankan prinsip fiduciary duty dan menyebabkan kerugian perusahaan, maka direksi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban secara perdata atas kerugian yang ditimbulkan.

Sejak UU Tipikor diterapkan, banyak jajaran direksi BUMN di negeri ini yang terjerat kasus hukum, dan banyak di antaranya yang berakhir dengan vonis bersalah dan mendekam di jeruji besi, akibat adanya kasus yang merugikan persero yang dipimpinnya itu.

Padahal, menurut Ary, tidak semua kerugian yang terjadi di BUMN itu murni akibat kesalahan yang dilakukan direksi tersebut.

Akibatnya, para direksi BUMN kerap dalam posisi dilematis. Di satu sisi dia dituntut untuk mencari keuntungan, tetapi ketika keputusan bisnis yang diambil salah dianggap merugikan negara dan diancam dengan undang-undang tipikor.

Terkait dengan kasus-kasus kerugian negara yang terjadi akibat keputusan bisnis yang diambil jajaran direksi, Ary Zulfikar menegaskan, tindakan jajaran direksi tersebut tidak bisa dijerat kasus hukum jika sepanjang tindakan bisnis yang diambilnya sudah memenuhi persyaratan dan prosedur yang ada di BUMN tersebut.

“Kriminalisasi terhadap business judgement rule tidak dapat dibenarkan, kecuali yang bersangkutan memang melakukan tindak pidana seperti menggelapkan dana perusahaan, melakukan penipuan dan lain sebagainya,” ucap lulusan magister hukum Universitas Gadjah Mada dan Doktor Hukum Bisnis dari Universitas Padjadjaran ini.

Namun, dia mengakui yang menjadi soal saat ini adalah tafsir UU Tipikor yang terlalu luas oleh penegak hukum, khususnya Pasal 2, membuat sejumlah jajaran direksi berurusan dengan hukum.
Baca juga: KPK dorong revisi UU Pemberantasan Tipikor
Baca juga: Fahri: KPK 'lempar handuk' usulkan revisi UU Tipikor
Baca juga: Pemohon uji UU Tipikor perbaiki permohonan

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2019