Pontianak (ANTARA) - Ria Rizki Utami (23) seorang anak perempuan difabel yang mengalami cacat fisik bersama ibunya Supardini (70) bertahan hidup dengan tinggal di sebuah rumah tidak layak huni (gubuk) yang tidak memiliki dinding.

"Suami saya meninggal lima tahun, sehingga kini kami hanya mengandalkan belas kasihan tetangga dan keluarga untuk hidup sehari-hari, karena saya juga tidak bisa kerja, selain karena faktor usia, anak saya juga tidak bisa ditinggalkan," kata Supardini di Pontianak, Rabu.

Rumah gubuk Ria dan ibunya tersebut, tepatnya di Jalan Johar, Gang Pelangi, RT 003/RW001, Kelurahan Tengah, Kecamatan Pontianak Kota, Kota Pontianak, yang berukuran empat kali lima meter tersebut sangat memprihatinkan, seperti tidak memiliki dinding, yang hanya mengandalkan baliho bekas, lantai papan yang sudah rapuh sehingga kalau musim penghujan, rumah dan penghuninya juga ikut basah.

"Yang paling mengkhawatirkan saya, yakni dimusim penghujan disertai angin kencang, maka seisi rumah bisa basah karena hujan. Rumah kami tidak ada dinding,  hanya mengandalkan baliho," ungkap Supardini yang sudah nampak uzur tersebut.

Selain itu, rumah tersebut milik mertuanya yang sudah meninggal, sehingga status kepemilikan hingga saat ini masih warisan. "Sudah belasan tahun kami tinggal menumpang di sini, dan sejak suami saya masih ada, rumah ini juga sudah tidak memiliki dinding," katanya.

Selain karena tidak memiliki biaya untuk memperbaiki rumah, Supardini menyatakan dirinya juga harus melayani anak semata wayangnya yang mengalami cacat fisik sejak lahir, karena mengalami demam panas tinggi yang disertai kejang-kejang.

"Karena keterbatasan biaya, maka anak kami tidak pernah mengontrol kesehatan, baik kepada dokter praktik maupun dibawa ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut," katanya.

Dia berharap, pemerintah memberikan perhatian, baik kepada anaknya, juga dalam hal perbaikan rumah yang tidak layak huni yang juga merupakan program Pemkot Pontianak dalam beberapa tahun terakhir sangat gencar dilakukan di Kota Pontianak itu.

"Kami juga tidak mendapat bantuan dalam bentuk apapun dari pemerintah, termasuk beras untuk masyarakat miskin (Raskin) sejak tiga tahun terakhir. Saya juga tidak mengerti untuk mengurusnya," katanya.

Menurut dia, dalam memenuhi kehidupannya sehari-hari, dia dan anaknya hanya mengandalkan bantuan dari keluarga dan tetangga yang masih peduli dalam memberikan bantuan, baik berupa makanan atau pun lainnya.

"Yang saya butuhkan saat ini, adalah kepedulian pemerintah dalam membantu penyediaan rumah layak huni, seperti untuk membangun dinding rumah saya ini, yang kini hanya mengandalkan lembaran baliho, untuk bagian atapnya kami mendapat bantuan atap seng tahun 2002," katanya.

Sementara itu, Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kalbar, Jamhari Abdul Hakim menyatakan Ria Rizki Utami merupakan anak penyandang  disabilitas, sehingga menurut undang-undang merupakan tanggung jawab negara dalam hal pemberian kehidupan yang layak.

"Apalagi orangtua anak disabilitas tersebut termasuk tidak mampu (miskin) sehingga dalam hal ini negara harus hadir dalam memberikan penghidupan yang layak baginya," katanya.

Ria pernah diberikan bantuan kursi roda bekas, tetapi kini sudah tidak ada lagi. "Yang paling memprihatinkan anak tersebut tinggal di rumah yang sangat tidak layak, sehingga sangat membutuhkan bantuan dan perhatian dari pemerintah," katanya.

Dia berharap, Pemkot Pontianak memberikan perhatian, misalnya melakukan bedah rumah atau juga diberikan bantuan bagi rumah tangga miskin, seperti pemberian Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Simpanan Keluarga Sejahtera (KSKP).

Ia menambahkan, menurut pengakuan ibu anak tersebut, mereka sama sekali belum mendapat bantuan atau memiliki ketiga kartu tersebut. "Sekali lagi kami berharap Pemkot Pontianak memperhatikan keluarga Supardini dan anaknya Ria yang mengalami disabilitas tersebut," katanya.*

Baca juga: Pelaku penganiayaan difabel di Pontianak terancam 10 tahun penjara

Baca juga: Wako Pontianak bela sungkawa kepada difabel korban penganiayaan

Pewarta: Andilala
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019